SETIAP manusia yang lahir melekat pada dirinya dua kecenderungan sifat, yaitu kebaikan dan keburukan. Kedua sifat ini akan tumbuh dan menjadi karakter bergantung tempat dan lingkungannya.
Ibarat sebutir benih yang ditanam diatas sebidang tanah, ia akan tumbuh subur dan menghasilkan buah yang berkualitas manakala disemai diatas tanah yang baik. Sebaliknya, sebutir bibit tidak akan tumbuh sempurna bahkan terancam mati jika ditanam diatas tanah kering yang tidak memiliki nutrisi untuk tumbuh kembang tanaman, meskipun tergolong bibit unggul.
Demikian pula manusia yang dikatakan sebagai mahluk terbaik yang dilahirkan ke dunia dengan kesempurnaan perangkat yang dilekatkan padanya (manusia) melampaui makhluk ciptaan lainnya, bahkan malaikat sekalipun dikatakan tidak lebih baik.
Seperti sebutir bibit, meski tergolong unggul, terbaik dengan segala kelebihannya namun jika tidak berada di lingkungan yang tepat, maka seluruh perangkat yang menjadi kelebihannya tidak akan tumbuh dengan sempurna bahkan perpotensi rusak dan akhirnya tidak memiliki nilai sedikitpun.
Demikianlah yang ditegaskan oleh Prof Dr. H. Ahmad Zain Sarnoto, M.Pd.I dalam kesempatan mengisi kajian Subuh Keliling Forum Komunikasi Masjid dan Mushola Malaka Sari (Forkommas), Duren Sawit, Jakarta Timur, pada Sabtu pagi (20/12/2025).
Momentum Masa Keemasan
Ahmad Zain mengingatkan bahwa usia paling berharga atau masa keemasan (golden age) seorang manusia berada di usia 0-6 tahun. Pada rentan usia inilah periode kritis perkembangan anak begitu pesat melebihi volume otak orang dewasa. Sehingga di usia ini menjadi waktu terbaik untuk memberikan stimulasi kognitif, sosial, dan emosional.
Pada usia ini pula, daya rekam anak terhadap sesuatu yang dilihat dan didengar begitu cepat dan melakat kuat. Sehingga peran orang tua dalam memberikan asupan positif dengan pendidikan yang tepat serta lingkungan yang baik sangat menetukan kualitas perjalanan hidup seorang anak.
Fase ini begitu penting mengingat adanya siklus kehidupan dalam perjalan hidup manusia, dari saat bayi dalam kondisi lemah, usia muda dengan kondisi fisik yang kuat dan usia tua yang ditandai dengan fisik yang kembali melemah sebagaiman yang digambarkan dalam surah Ar-Rum ayat 54.
Dalam siklus ini, kenangan masa lalu, khusunya pada usia emas begitu terasa saat berada di fase usia muda hingga nanti memasuki usia lanjut (menua).
Dalam dunia psikologi, kata Ahmad Zain, memori masa lalu akan selalu tersimpan dalam pikiran manusia, terutama memori negatif yang cenderung lebih kuat ketimbang memori positif.
Disinilah pentingnya mempersiapkan tumbuh kembang anak dengan pengasuhan yang tepat melalui penanaman nilai positif dalam intraksi keseharian, seperti tidak memarahi, membentak apalagi dengan memukul. Sebab dikhawatirkan menjadi beban kenangan negatif yang membentuk karaktek dan terus melekat kuat dalam perjalan hidupnya.
Proses perjalanan nabi Musa dalam berguru kepada Nabi Khidir menjadi gambaran betapa memori negatif masa lalu menjadi beban di usia muda dan tua. Peristiwa demi peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa dalam perjalanan bersama Nabi Khidir secara tidak langsung mengingatkan memori masa lalu yang dialami nabi Musa. Mulai dari peristiwa melubangi perahu, membunuh anak kecil hingga membangun tembok yang hampir roboh dirumah dua orang anak yatim.
Jika kita renungkan lebih jauh, ternyata setiap peristiwa pernah dialami oleh nabi Musa. Mulai dari usia balita yang terpaksa dihanyutkan di sungai nil, membunuh tanpa sengaja seorang pemuda dari bangsa Qibthi serta membantu dua perempuan yang kesulitan memberi minum hewan ternak. Seolah peristiwa bersama nabi Khidir mengingatkan memori masa lalunya sehingga memunculkan banyak pertanyaan kepada nabi Khidir tentang setiap peristiwa yang dialaminya.
Dalam kondisi seperti itu, Ahmad Zain mengajak jama’ah untuk introspeksi diri dan evaluasi dalam rangka menguatkan mental dalam menghadapi kenangan masa lalu, baik kenangan indah maupun kengan buruk yang beliau singkat dengan 5B, yaitu berakidah yang Benar atau lurus, Berdo’a, Berbuat baik kepada keluarga, Beribadah dengan baik dan Bersabar dalam kemelaratan dan kesusahan.
Introspeksi dan evaluasi diri adalah kunci agar masa lalu baik atau buruk tidak menjadi beban, melainkan menjadi pelajaran berharga dalam mencapai kehidupan yang lebih baik dan membahagiakan.
