MAKASSAR – Cendekiawan muda yang juga pakar hukum tata negara, Asrullah Syaharuddin, mengatakan upaya menunda pemilu dan bertambahnya masa jabatan dapat berimplikasi pada krisis legitimasi kepemimpinan nasional. Tidak hanya itu, semua jabatan politik yang harus dipilih melalui pemilu pun menjadi tidak legitimate.
“Spirit Undang Undang Dasar kita juga tegas membatasi masa jabatan presiden maksimal dua periode sebagaimana yang terdapat pada Pasal 7 UUD 1945,” kata Asrullah dalam acara Diskusi Khusus (Diksus) bertema ‘Polemik Legitimasi Perpanjangan Masa Jabatan Presiden’ yang dilelar Pusat Kajian dan Penelitian Mahasiswa Hukum Tata Negara (PUSAKA HTN) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar via Zoom, Sabtu (12/3/2022).
Asrullah yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (PP Lidmi) ini Asrullah menyoroti basis legitimasi perpanjangan masa jabatan presiden. Dia mengatatakan, aturan tentang masa jabatan presiden telah rigid diatur dalam konstitusi UUD 1945.
Dalam perspektif hukum dan konstitusi terkait dengan perpanjangan masa jabatan, hal itu merupakan suatu ketentuan yang telah fix term diatur dan dikontitusionalisasi dalam kontitusi. Misalnya, dia menyebutkan, kalau dibaca secara seksama dan mendalam ketentuan dalam konstitusi pada pasal 22E UUD 1945.
Dalam pada itu, presiden dan wakil presiden, DPD, DPRD, DPR itu merupakan jabatan politik yang sirkulasi kepemimpinannya dilaksanakan melalui pemilihan umum dan basis legitimasi konstitusionalnya juga berbasis pemilu yang dilaksanakan sekali dalam 5 tahun.
Asrullah menilai upaya untuk menambah masa jabatan presiden ini tidak bisa dilihat sebagai suatu yang sepele dengan alasan-alasan kontekstual yang tidak masuk dalam kualifikasi suasana kegentingan yang memaksa.
Selain itu, terangnya, tak ada kegentingan keadaan berbahaya sebagaimana dua kondisi overmacht (luar biasa) dalam UUD seperti adanya agresi dari negara lain atau adanya destabilitas sosial politik karena kerusuhan besar dimana mana yang tak terkontrol.
“Contoh proses Pilkada 2019 yang terlaksana dan berjalan secara baik dan lancar di masa pandemi. Pengalaman dua tahun yang lalu pada saat Covid-19 yang jauh lebih tinggi daripada sekarang. Sekarang itu sudah relatif melandai,” kata kandidat doktor hukum Unhas ini.
Terlebih Pilkada lalu itu dianggap sebagai pilkada yang sukses dan mampu beradaptasi dengan eskalasi Covid. Sehingga, tegas Asrullah, upaya menunda pemilu dan menambah masa jabatan karena faktor kegentingan telah terbantahkan dengan sendirinya.
“Sama sekali tidak termasuk alasan yang rasional, tidak legitimate secara sosiologis dan diametral secara konstitusional,” jelas mahasiswa doktoral Unhas ini.
Sebagai penutup, Asrullah menguraikan pentingnya melihat hal ini dari dua sudut pandang yakni konstitusionalisme dan demokratisme.
Dia menjelaskan, publik perlu memperhatikan dua hal berkenaan dengan isu penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden. Pertama, jelas Asrullah, perspektif konstitusionalime yang berkenaan dengan paham pembatasan kekuasaan yang menghendaki masa jabatan presiden itu tidak absolute dan dilimitasi sebagaimana yang dianut dalam UUD 1945.
Kedua, yakni demokratisme. Demokratisme dalam kontitusi, jelas Asrullah, sering dikaitkan sejauh mana perangkat bernegara itu melakukan langkah adaptif terhadap aspirasi masyarakat yang dijadikan sebagai kulminasi pertimbangan konstitusional untuk melakukan perubahan terhadap kontitusi.
“Upaya menunda pemilu dan menambah masa jabatan tidak memiliki fundamen alasan yang rasional, logis, dan konstitusional sehingga tak dapat dibenarkan,” tandasnya.
Dalam diskusi tersebut hadir juga pakar politik kebangsaan Dr. Arqam Azikin, M.Si sebagai pemantik berkenaan dengan topik yang diangkat dalam acara tersebut.
Seperti diketahui, isu soal penambahan masa jabatan Presiden Jokowi kian santer terdengar. Hal itu mencuat seiring dengan wacana penundaan pelaksanaan pemilu 2024 mendatang. (prs/nns)