Teladan dari Batang Gandum, Kejarlah Kebaikan Dimanapun Adanya

Menurut Rasulullah, kepribadian seorang mukmin dapat diibaratkan seperti sebatang gandum. Dalam sebuah hadits, Anas bin Malik bercerita, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin itu seperti setangkai gandum, terkadang condong dan terkadang tegak.” (Riwayat Abu Ya’la. Isnad-nya hasan). Apakah yang beliau maksudkan?

Perhatikanlah ladang gandum atau padi. Ketika angin bertiup lembut, tangkai mayangnya melambai-lambai dengan anggun. Ketika angin kembali tenang, mereka tegak lagi dengan indahnya.

Bacaan Lainnya

Bila angin bertiup lebih keras; yang sanggup mematahkan cabang-cabang pohon besar dan bahkan mencabutnya sampai ke akar; gandum dan padi itu ternyata juga rebah, akan tetapi tidak tercerabut dari akarnya.

Maka, demikian pulalah seorang mukmin. Dinamika kehidupan bisa mendatanginya dengan seribu satu wajah, namun dia tetap seorang mukmin. Ujian dan cobaan mungkin menerpanya dari berbagai penjuru, dan terkadang dia harus rebah, namun keyakinannya kepada Allah tidak pernah tercerabut.

Seorang mukmin memiliki prinsip-prinsip yang terang dalam menjalani hidupnya, karena setiap sikapnya dilandasi ilmu dan keyakinan. Ia tidak sekadar ikut-ikutan, apalagi terhanyut oleh tren dan mode. Maka, dalam segala situasi dia mantap dan percaya diri, karena tahu betul bahwa dirinya berada di atas kebenaran.

Sekilas, mungkin dia bisa terkesan sombong. Namun, ada perbedaan besar antara kesombongan dengan keyakinan. Kesombongan dilandasi penolakan terhadap kebenaran dan dikobarkan oleh nafsu untuk meremehkan sesama, sementara keyakinan didasari oleh ilmu dan iman.

Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau seberat biji sawi.” Ada yang berkata, “Sungguh seseorang itu ingin bajunya bangus, demikian pula sandalnya.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah, Dia pun mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (Riwayat Muslim).

Sebaliknya, keteguhan seorang mukmin adalah refleksi iman, sebagai pengamalan dari sabda Rasulullah ini, “Janganlah kalian menjadi orang yang plin-plan, yang berkata: ‘Jika orang lain baik, kami pun baik; jika mereka zhalim, kami pun zhalim.’ Akan tetapi, teguhkan diri kalian. Jika orang lain baik, hendaknya kalian pun baik, dan jika mereka berbuat keburukan, maka jangan kalian ikut menjadi zhalim.” (Riwayat at-Tirmidzi dan al-Bazzar, dari Hudzaifah. Hadits hasan-gharib).

Inilah yang disebut dengan shiddiq, salah satu sifat yang sangat mulia. Secara bahasa, shiddiq artinya jujur dan benar. Apa yang dimaksud jujur dan benar disini tidak hanya pada perkataan, namun lebih luas lagi.

Kejujuran seorang shiddiq juga terlihat dalam perbuatannya, tindak-tanduknya, isi hatinya, pikirannya, cita-citanya, dst. Pendeknya, seluruh aspek kepribadiannya adalah jujur dan benar, bukan kebohongan dan rekayasa. Ia adalah muslim ketika sendirian maupun di hadapan orang banyak.

Ia adalah orang baik-baik entah saat lapang atau sempit, berkuasa atau rakyat jelata. Ada kesempatan maupun tidak, dia tetaplah orang yang sama baiknya.

Tentu saja, seseorang yang tiba-tiba menjadi baik dan dekat dengan masyarakat menjelang Pemilu dan Pilkada, bukan penyandang sifat shiddiq, kecuali jika sudah seperti itu sejak dahulu, dan akan tetap demikian sampai akhir hayatnya.

Kita dapat menyebut seorang mukmin sebagai pribadi yang memiliki integritas tinggi. Contoh pribadi shiddiq, selain para Nabi dan Rasul, adalah Abu Bakar. Sosok ini benar-benar layak menyandang gelar tersebut, karena sedemikian teguhnya sikap yang beliau miliki.

Riwayat-riwayat yang mengisahkan biografi beliau menggambarkan dengan gamblang bahwa di zaman jahiliyah sekali pun, ternyata beliau tidak pernah berzina atau minum khamer. Padahal, keduanya merupakan perilaku yang sangat umum didapati pada masa itu.

Maka, Umar bin Khattab pun “menyerah” karena tidak sanggup mengejar keutamaan Abu Bakar. Padahal, kita pun tahu siapa Umar. Ibnu Mas’ud pernah ditanya oleh Sa’id bin Zaid, “Wahai Abu Abdirrahman, Rasulullah telah wafat, di manakah beliau sekarang?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Beliau di surga.” Sa’id bertanya lagi, “Abu Bakar telah meninggal, di manakah beliau sekarang?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Orang yang penuh kasih itu, selalu mencari kebajikan di mana pun adanya.” Sa’id bertanya kembali, “Umar pun telah meninggal, di manakah beliau sekarang?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Bila orang-orang shalih disebut, ayo segeralah sebutkan Umar!” (Riwayat Abdurrazzaq dan ath-Thabrani. Sanad-nya hasan).

Benar. Abu Bakar adalah sosok yang selalu mengejar kebajikan di mana pun adanya. Maka, sangat wajar jika beliau termasuk salah seorang yang dipanggil masuk surga dari semua pintu, dan dipersilakan memilih mana saja yang disukainya. Sebab, beliau punya “tiket” untuk semuanya.

Rasulullah pernah bersabda, “Siapa yang membiayai dua orang istri dari hartanya sendiri di jalan Allah, akan dipanggil dari pintu-pintu surga. Surga itu mempunyai pintu-pintu. Siapa yang tekun mengerjakan shalat, dipanggil dari pintu shalat. Siapa yang rajin bersedekah, dipanggil dari pintu sedekah. Siapa yang gemar berjihad, dipanggil dari pintu jihad. Siapa yang suka berpuasa, dipanggil dari pintu Ar-Rayyan.” Maka, Abu Bakar pun berkata, “Tidak masalah bagi seseorang jika dipanggil dari pintu surga yang mana saja. Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang dipanggil dari semua pintu itu?” Rasulullah menjawab, “Ya, ada. Dan, sungguh aku berharap engkau adalah salah seorang diantara mereka.” (Riwayat Ahmad. Semua perawinya tsiqah).

Inilah orang shiddiq itu, dan demikianlah gambaran ideal seorang mukmin. Oleh karenanya, para ulama’ berusaha keras mengumpulkan satu demi satu sifat dan tanda keimanan.

Salah satu kumpulan paling baik di bidang ini adalah Al-Jami’ Li Syu’abil Iman, karya Imam Abu Bakr al-Baihaqi. Kitab ini sangat tebal, sampai 14 juz dan memuat lebih dari 10 ribu riwayat.

Namun, beruntunglah bahwa Al-Qadhi Abul Ma’ali al-Qazwini telah meringkaskannya untuk kita, sehingga menjadi 178 halaman saja. Di dalamnya telah dipaparkan 77 cabang iman, yang dengan mengamalkannya akan menjadikan kita seorang mukmin yang paripurna.

Aspek-aspek keimanan ternyata tidak hanya bersifat abstrak dan pemikiran, namun juga berupa amalan lahiriah yang kasat mata. Setiap cabang pun memiliki rujukan Al-Qur’an dan hadits.

Menurut hemat kami, daripada membaca ulasan karakter manusia unggul yang bersumber dari penulis-penulis Barat, seribu kali jauh lebih baik kita menelaah karya semacam ini.

Membaca ayat Al-Qur’an dan menelaah hadits jelas bernilai ibadah dan mengandung dzikir, sesuatu yang tidak akan kita dapatkan dari karya-karya berbasis psikologi materialis-sekuler yang seringkali anti-Tuhan, menolak metafisika, dan tidak sedikit pun berbicara tentang akhirat.

Tunggu apa lagi? Ayo, kejarlah kebajikan itu di mana pun adanya! Wallahu a’lam.

KH. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Hidayatullah Malang

Pos terkait