Raksasa ritel, Alfamart, dikabarkan telah menutup 300-400 gerai sepanjang tahun 2024. Langkah ini mesti Alfamart lakukan sebagai dampak dari tekanan berat yang dialami sektor ritel tanah air. Hal tersebut diungkapkan oleh Corporate Affairs Director PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, Solihin, baru-baru ini.
Menurut Solihin, salah satu faktor utama penutupan ini adalah lonjakan tarif sewa gerai yang tidak terkendali.
“Awalnya, tarif sewa itu di kisaran Rp 40-50 juta per tahun. Sekarang, bisa tembus hingga Rp 500 juta per tahun untuk beberapa lokasi,” ungkapnya kepada Tempo.
Lonjakan drastis ini, lanjut Solihin, memaksa perusahaan untuk mengambil langkah strategis. Ia menganalogikan situasi ini dengan penyakit usus buntu.
“Gerai yang terkena dampak sewa tinggi ini seperti usus yang terinfeksi. Harus dipotong agar yang lain tetap sehat,” jelasnya. Dalam konteks bisnis, “tetap sehat” ini berarti menjaga profitabilitas perusahaan.
Meskipun melakukan penutupan ratusan gerai, Alfamart tetap optimis dan akan menerapkan strategi ekspansif.
Tahun 2024 ini, kami menargetkan pembukaan 1.000 gerai baru. Ekspansi ini akan difokuskan di luar Pulau Jawa, menunjukkan potensi pasar yang masih besar di wilayah tersebut.
Dengan strategi ini, Alfamart berharap dapat bertahan dan tetap tumbuh di tengah ketatnya persaingan dan tantangan ekonomi di sektor ritel.
Penutupan gerai yang tidak menguntungkan dan ekspansi ke wilayah baru diharapkan dapat menjaga kesehatan finansial dan keberlangsungan bisnis Alfamart di masa mendatang.
Hal penting lebih lanjut kita dapati adagium bahwa dalam ekonomi tak ada istilah raksasa yang berkuasa selamanya. Tampaknya itu kian terkonfirmasi. Lantas bagaiana dengan kondisi ekonomi rakyat secara lebih luas?
Satu hal yang pasti, kondisi sulit ini akan makin berat. Apalagi setelah pemerintah menaikkan upah minimum provinsi atau UMP sebesar 6,5 persen, yang mulai berlaku Januari 2025. Dalam kata yang lain beban yang harus Alfamart tanggung menjadi bertambah.*