HARI hari ini, publik dikejutkan oleh terbongkarnya kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Bukan hanya karena nilai kerugiannya fantastis yang diperkirakan mencapai Rp 1,98 triliun tetapi juga karena kompleksitas jejaring yang menyeret nama-nama besar dan jejak historis kepemimpinan masa lalu di kementerian tersebut.
Kasus ini menjadi titik penting dalam penegakan hukum di sektor pendidikan dan teknologi informasi. Ia menyorot betapa kebijakan publik yang seharusnya melayani kepentingan rakyat dapat dibajak oleh kepentingan sempit, melalui proses pengadaan yang disiasati, spesifikasi teknis yang dimanipulasi, hingga konflik kepentingan yang samar tapi nyata.
Pada awalnya, niat dari program ini tampak mulia. Pemerintah berupaya mengakselerasi digitalisasi pendidikan nasional dengan mendistribusikan lebih dari 1,2 juta unit laptop Chromebook ke sekolah-sekolah dari tingkat PAUD hingga SMA.
Total anggaran proyek ini diperkirakan mencapai Rp 9,3 hingga Rp 9,9 triliun, menjadikannya salah satu program belanja teknologi pendidikan terbesar dalam sejarah republik.
Namun, ambisi tersebut mulai mencurigakan ketika spesifikasi yang dipilih—yaitu penggunaan sistem operasi Chrome OS—berbeda dari hasil uji coba awal.
Menurut hasil penyelidikan Kejaksaan Agung, pada 2019 dilakukan uji coba antara perangkat berbasis Windows dan Chrome OS di daerah-daerah terpencil. Hasilnya jelas: sistem berbasis Windows dinilai lebih kompatibel dengan kebutuhan pengguna di lapangan.
Anehnya, justru Chrome OS yang dimenangkan dan dimasukkan ke dalam petunjuk teknis resmi pengadaan, yang menjadi acuan dalam e-katalog. Hal inilah yang ditengarai sebagai awal dari rekayasa administratif yang kemudian membuka celah korupsi.
Kejaksaan Agung tidak tinggal diam. Dalam waktu singkat, empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka terdiri dari Direktur Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah tahun 2020-2021, Direktur SMP Kemendikbudristek 2020, Konsultan Perorangan Rancangan Perbaikan Infrastruktur Teknologi Manajemen Sumber Daya Sekolah pada Kemendikbudristek, dan mantan staf khusus Mendikbudristek era Nadiem Makarim berinsial JT.
Mereka diduga bersekongkol menyusun pedoman teknis yang mengunci pilihan hanya kepada produk berbasis Chrome OS. JT bahkan disebut sudah memulai pengaruhnya sejak 2019, dengan menjalin komunikasi lewat WhatsApp, rapat Zoom, dan jaringan profesional lainnya. Ini bukan korupsi konvensional. Ini adalah permainan kebijakan yang berselimut teknologi.
Lebih jauh, mereka juga diduga mengakibatkan pemborosan anggaran lewat pembelian lisensi Chrome Device Management (CDM) dengan harga sangat tinggi, serta pengadaan perangkat keras yang tidak optimal digunakan di daerah terpencil.
Tak kalah mengejutkan, pengusutan ini menyeret nama Google dan GoTo (Gojek Tokopedia). Dalam pernyataannya, Kejaksaan Agung menyebut bahwa mereka tengah menelusuri kemungkinan adanya benturan kepentingan dalam penunjukan Chrome OS sebagai sistem operasi utama.
Salah satu fakta yang membuat publik bergidik adalah investasi besar Google ke Gojek—yang saat itu dipimpin oleh Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan saat program Chromebook ini mulai dijalankan. Nilai investasi Google ke Gojek pada 2020 dilaporkan mencapai lebih dari USD 1 miliar.
Apakah ada keterkaitan antara dukungan Google terhadap Gojek dan dipilihnya Chrome OS oleh kementerian yang dipimpin mantan CEO Gojek itu? Apakah ini hanya kebetulan atau ada arus bawah yang lebih dalam? Hingga kini, Kejagung masih melakukan penggeledahan dan pendalaman. Belum ada kesimpulan hukum.
Namun, yang jelas, Kejagung telah memeriksa sejumlah pihak dari Google Indonesia dan Gojek. Bahkan kantor GoTo pun telah digeledah. Ini menunjukkan bahwa Kejagung tidak berhenti pada tersangka administratif di level kementerian, tetapi juga menyasar kemungkinan pengaruh korporasi besar dalam kebijakan publik.
Harapan Pada Kejagung
Dalam pernyataan resminya, Kejaksaan Agung menegaskan bahwa pengusutan ini tidak akan berhenti hanya pada empat tersangka awal. Mereka akan terus mengawal proses hukum sampai tuntas. Sikap ini layak diapresiasi.
Langkah Kejagung menunjukkan integritas dan keseriusan dalam membongkar jaringan korupsi yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merusak tata kelola pendidikan dan kepercayaan publik.
Di sisi lain, masyarakat sipil harus tetap mengawal proses ini agar tidak berhenti di tengah jalan. Proses hukum harus tetap proporsional, berbasis bukti, dan bebas dari tekanan politik atau ekonomi.
Kita tidak boleh menghakimi siapa pun sebelum ada putusan pengadilan, tetapi kita juga tidak boleh lengah dalam menuntut transparansi.
Mari kita apresiasi langkah Kejaksaan Agung yang telah membuka tabir ini. Namun apresiasi saja tidak cukup. Kita butuh sistem yang lebih transparan, reformasi dalam e-katalog, dan evaluasi menyeluruh terhadap proyek pengadaan nasional—terutama di sektor pendidikan.
Hanya dengan itulah, pendidikan Indonesia bisa benar-benar maju tanpa dikorupsi oleh para aktor licik yang berselimut inovasi.[]