WAKTU menunjukkan jam 16.30, saya tiba di sebuah cafe yang cukup beken namanya di bilangan Kalimulya, Cilodong, Kota Depok.
Ya. Saya diundang kopi darat (kopdar) untuk membahas sinergi program oleh salah seorang sahabat sekaligus senior yang aktif di lembaga filantropi.
Diskusi santai kami berlangsung begitu cair dan hangat, ditambah nikmatnya kopi gula aren yang perlahan susut setelah beberapa kali diseruput.
Hampir memasuki waktu maghrib, tak terasa kami telah berdiskusi selama 1,5 jam dengan berbagai agenda program menjelang dan setelah Ramadhan 1445 H.
Disela-sela diskusi, ada satu hal yang menarik perhatian saya, dan itu berulang beberapa kali. Saya mengamati ini sejak kendaraan roda dua yang saya tunggangi menepi ke parkiran.
Sejak kedatangan kami di cafe itu, kami sudah mendapat pelayanan yang sangat baik. Seluruh karyawan, mulai dari petugas parkir, keamanan sampai pada pelayan di dalam ruangan menyambut dengan penuh kehangatan.
Bagi perusahaan atau instansi yang sudah menerapkan pengelolaan secara profesional, tentu ini bukan sesuatu yang baru. Dipastikan sudah menjadi standar pelayanan, sekaligus strategi marketing.
Ucapan “terima kasih” yang disampaikan oleh sesama karyawan setelah membantu atau menyelesaikan suatu pekerjaan, cukup menarik perhatian saya. Sekecil apapun bantuan yang diberikan. Seketika orang yang merasa terbantu akan mengucapkan terima kasih.
Para karyawan sendiri terus dijaga semangat dan soliditasnya dengan cara saling memberi apresiasi (penghargaan). Dengan begitu, setiap orang akan merasakan kenyamanan dan kepercayaan diri dalam bekerja sehingga kerja tim dapat terbangun dengan baik.
Pentingnya Apresiasi
Ungkapan, bahkan sekedar gesture yang mengandung kode apresiatif amatlah berpengaruh terhadap orang lain. Sayangnya, memberi apresiasi kepada tim atau seseorang yang telah melakukan sesuatu seringkali dianggap sepele.
Bahkan, terkadang, kita lebih sering membanding-bandingkan dengan pencapaian yang kita peroleh dengan orang lain lakukan, seolah bantuan yang diberikan “tidak berarti” apa-apa.
Yang lebih miris lagi, tak jarang sesama anggota tim “saling sikut” jika merasa tersaingi atau mendapat perhatian khusus dari atasan.
Persoalan seperti inilah yang seringkali membuat sebuah tim tidak mampu bekerja secara maksimal, sebab soliditas dan kepercayaan sebagai modal utama tidak terbangun dengan baik.
Pesimisme, saling curiga, dan kurangnya penghargaan terus menyelimuti yang menyebabkan hilangnya ketulusan serta militansi dalam bekerja.
Penghargaan sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan seseorang, walau sekecil apapun kontribusi yang diberikan, selayaknya ditumbuhkan dan menjadi budaya yang memungkinkan tim untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik.
Dengan begitu, akan tercipta suasana bekerja yang nyaman, penuh semangat dan optimisme sehingga menghasilkan kinerja yang gemilang.
Saat kita mengapresiasi karya orang lain, maka sesungguhnya kita juga sedang mengapresiasi diri sendiri. Terkadang, kita hanya butuh memberikan sedikit sentuhan penghargaan untuk mengubah hari seseorang menjadi lebih baik.
Singkat kata, tak perlu sungkan apalagi pelit untuk memberi apresiasi pada orang lain. Karena sedikit kebaikan yang diberikan, bisa jadi itu yang memantik datangnya beribu keberkahan kepada kita.
Jadilah pribadi yang selalu memberikan apresiasi pada lingkungan sekitar, dan lihatlah bagaimana itu menumbuhkan energi dan bisa membentuk kinerja yang luar biasa.[]
*) Adam Sukiman, penulis edukator Masyarakat Muda Jakarta dan asisten peneliti Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)