NASIONAL.NEWS — Kondisi geopolitik Timur Tengah kembali berada di ujung tanduk. Ketegangan antara Iran dan Israel dalam beberapa bulan terakhir meningkat tajam, dan kini dunia menyaksikan dengan kecemasan apakah dua negara ini akan melangkah ke medan perang terbuka berskala penuh.
Dalam konteks genting inilah, mantan Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyampaikan pernyataan keras yang patut dicermati bukan hanya oleh para pemimpin dunia, tetapi juga masyarakat internasional.
“Saat ini, situasi di Timur Tengah semakin berbahaya. Jika Perang Iran-Israel menjadi ‘out of control’, dunia benar-benar di ambang malapetaka,” ujar SBY dalam cuitannya di X, Kamis (19/6/20250).
Diketahui, eskalasi antara Teheran dan Tel Aviv telah melibatkan serangkaian serangan rudal, sabotase siber, ancaman blokade jalur pelayaran internasional, hingga retorika saling hancur yang keluar dari mulut para pejabat tinggi kedua negara.
Israel, di bawah pemerintahan Benjamin Netanyahu, menegaskan sikap garis kerasnya, sementara Iran, di bawah kendali spiritual dan politik Ayatollah Ali Khamenei, menolak mundur dari ambisi regional dan tuduhan sumir Barat mengenai program nuklirnya.
Lima Orang Kuat Pegang Kendali
Dalam lanskap kekuasaan global yang sangat kompleks ini, SBY menggarisbawahi bahwa masa depan dunia, terutama dalam aspek perdamaian dan keamanan, akan sangat ditentukan oleh “lima orang kuat” — tokoh-tokoh yang hari ini memegang kendali terbesar atas arah dunia.
“Yang pertama dan kedua adalah Benjamin Netanyahu dan Ali Khamenei. Sedangkan yang ketiga, keempat dan kelima (yang lebih kuat lagi) adalah Donald Trump, Vladimir Putin, dan Xi Jinping,” tegas SBY.
Tiga nama terakhir memang patut menjadi sorotan tersendiri. Donald Trump, figur dominan dalam politik AS yang memimpin negara adidaya itu. Vladimir Putin, pemimpin Rusia, memainkan peran utama dalam perang Ukraina yang belum berakhir — sebuah konflik yang juga menempatkan Rusia berseberangan dengan kepentingan Barat di Timur Tengah.
Sementara itu, Xi Jinping dari Tiongkok secara strategis terus memperluas pengaruh ekonominya di kawasan, bahkan melibatkan diri sebagai penengah potensial dalam konflik Iran-Saudi beberapa waktu lalu.
Persilangan Kepentingan atau Perang Dunia Ketiga
Lima nama ini merepresentasikan persilangan kepentingan ekonomi, politik, militer, dan ideologi global yang bisa menentukan apakah dunia bergerak ke arah de-eskalasi atau justru terperosok dalam perang besar — bahkan, seperti dikhawatirkan oleh banyak analis, menuju Perang Dunia Ketiga.
SBY secara lugas mengingatkan bahaya “miscalculation” atau salah hitung — istilah klasik dalam literatur perang yang menggambarkan betapa keputusan keliru, meski kecil, dapat memicu bencana besar yang tak terkendali.
“Semoga kelima pemimpin tersebut oleh Tuhan diberikan kearifan jiwa dan kejernihan pikiran dalam mengambil keputusan dan tindakan. Jangan ada salah keputusan dan ‘miscalculation’ (salah hitung). Kalau gegabah dan salah, akan menimbulkan kematian dan kehancuran yang dahsyat di banyak bangsa dan negara,” ungkap SBY.
Waspada Tergelincir ke Jurang Perang Besar
Sejarah menjadi saksi betapa peradaban manusia berkali-kali tergelincir ke jurang perang besar akibat ambisi dan ego para pemegang kekuasaan.
Perang Dunia I, misalnya, dipicu oleh insiden pembunuhan di Sarajevo, tetapi diperbesar oleh kalkulasi keliru para elit militer Eropa.
Begitu pula Perang Dunia II, yang lahir dari kegagalan diplomasi, ketakutan berlebihan terhadap kekuatan lawan, dan ambisi seorang pemimpin tunggal.
“Sejarah mencatat, banyak peperangan yang berangkat dari ego dan ambisi para pemegang kekuasaan (power holders). Dari abad ke abad, selalu ada ‘warlike leaders’ (pemimpin yang sangat gemar berperang). Padahal, sejatinya manusia sedunia lebih mencintai kedamaian dan perdamaian,” kata SBY.
Ini adalah peringatan keras bagi para elit dunia. Meski propaganda, politik dalam negeri, atau tekanan ekonomi bisa mendorong seorang pemimpin untuk bertindak keras, SBY mengingatkan bahwa sesungguhnya manusia pada hakikatnya mencintai perdamaian.
Bangsa-bangsa di dunia, dari rakyat Israel hingga warga Iran, dari petani Rusia hingga buruh pabrik Tiongkok, dari kaum pekerja Amerika hingga nelayan Indonesia — tidak ada yang menghendaki dunia terjerumus dalam api perang.
Namun, meski kekhawatiran ini nyata, SBY juga mengajak dunia untuk tidak menyerah pada pesimisme. Masih ada waktu, masih ada ruang untuk mencegah bencana global.
“Perang besar, apalagi Perang Dunia ke-3, masih bisa dicegah. Harus bisa dicegah. Waktu dan jalan masih ada,” pungkas SBY.
Seruan ini mengandung optimisme moral yang langka di tengah gelapnya peta geopolitik global saat ini. Dunia butuh kebijakan bijaksana, diplomasi cerdas, dan keikhlasan untuk menahan ego nasionalistik demi kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan.
Indonesia, sebagai negara non-blok terbesar, memiliki peran moral untuk terus mendorong diplomasi damai di berbagai forum internasional — dari PBB hingga OKI. Di tengah ketegangan global, suara dari Jakarta bisa menjadi penyeimbang agar api perang tak menjalar lebih luas.
Pesan tegas SBY menggaris bawahi bahwa nasib perdamaian dunia hari ini berada di tangan segelintir elite yang harus diingatkan akan konsekuensi sejarah setiap keputusan yang mereka ambil.