JAKARTA — Merespon isu literasi nasional yang kian memprihatinkan, Pengurus Wilayah (PW) Pemuda Hidayatullah Jakarta mengadakan forum Bincang Literasi di Auditorium Utama Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, Jl. Medan Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Jum’at (26/07/2024).
Acara yang dihadiri oleh 350 orang peserta ini dibuka secara resmi oleh Asisten Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora RI, Muhammad Adsan. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa anak muda memiliki andil besar dalam menuju Indonesia Emas 2045.
“Bahwa pemuda memiliki peran yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa dan dalam menuju Indonesia 2045. Dan untuk bersaing dalam literasi global, anak muda harus menguasai bahasa Inggris,” ungkap pria asal Palu, Sulawesi Tengah ini.
Adsan menegaskan juga, bahwa pemuda Indonesia tidak boleh hanya menjadi objek pembangunan, tetapi harus menjadi subjek agar angka pengangguran di kalangan anak muda bisa dihilangkan.
Adsan menyebutkan, anak muda kita saat ini sebanyak 65 juta jiwa, atau sekitar 24% dari total populasi. Karena itu, dia menegaskan pemuda jangan sampai hanya jadi objek pembangunan.
“Tetapi harus menjadi subjek pembangunan. Tantangannya saat ini ialah satu dari empat pemuda pengangguran, tidak bekerja, tidak dalam pendidikan dan tidak pula mengikuti pelatihan,” tegasnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah Jakarta, Muhammad Isnaeni, mengatakan bahwa kegiatan bincang literasi sangat bagus dan dekat dengan tradisi Islam.
“Islam merupakan peradaban yang lahir dari iklim literasi yang sangat kuat. Itulah mengapa ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad adalah ayat yang berkenaan dengan membaca, yakni iqra”, kata tokoh muda Majelis Ormas Islam (MOI) Jakarta ini.
Literasi Menuju Indonesia Emas
Dengan mengusung tema, “Literasi Nyalakan Aksi, Kaum Muda Menuju Indonesia Emas 2045,” Pemuda Hidayatullah Jakarta langsung mengundang Kang Maman Suherman dan Mas Imam Nawawi, dua tokoh penulis dan pegiat literasi nasional.
Kang Maman dalam paparannya menyatakan bahwa kita harus objektif menilai kondisi literasi masyarakat. Angka survei bisa menjadi bahan untuk evaluasi, namun jangan latah oleh angka sehingga membuat kita menjadi inferior.
“Saya selalu dipukul oleh data UNESCO, 0,001%, tetapi saya tidak pernah tahu itu cara menghitungnya bagaimana. Karena ada beberapa indikator tentang literasi yang tidak termasuk, yakni membaca kitab suci. Kenapa kita harus menggunakan indikator orang lain yang sifatnya sangat duniawi,” ungkap penulis terkenal ini.
“Padahal saya tahu, ketika bangun malam hari ketika tahajjud sebenarnya kita telah membaca. Tetapi iqro’ tidak menjadi bagian dari literasi itu sendiri. Ini yang membuat kita terkadang sangat inferior sebagai bangsa dan sebagai orang Islam,” sambungnya.
Sedangkan Mas Imam Nawawi, memulai paparannya dengan mengajak berpikir kritis mengapa Indonesia Emas 2045 menjadi momentum yang penting untuk dipersiapkan bersama. Ia mengisahkan tentang bagaimana Bung Hatta dulu mempersiapkan dirinya menjadi pemimpin.
Imam menyebutkan, ada yang namanya teori siklus peradaban. Dia menjelaskan, Indonesia merdeka 1945, tetapi persiapannya sudah dimulai dari 1920-an.
“Saya teringat dengan Bung Hatta yang belajar 11 tahun di negara penjajah, Belanda. Ketika ditanya kenapa lama, ia menjawab: saya belajar menyiapkan diri untuk suatu saat memimpin bangsa Indonesia,” papar Mas Imam.
Mas Imam juga mengingatkan, bahwa Indonesia Emas bisa dicapai jika disiapkan bersama-sama dengan serius. Jika tidak maka Indonesia Emas bisa berubah menjadi Indonesia Cemas.
“Jadi kalau Indonesia Emas hanya sebatas diksi belaka, tetapi tidak ada dalam sistem berpikir dan kesadaran kita sebagai bangsa, maka emas bisa berubah menjadi cemas,” pungkas tokoh muda Hidayatullah ini./*Rizki Ulfahadi