PELANTIKAN Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029, bersama Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden, telah mengundang perhatian besar dari berbagai kalangan. Termasuk digunjingkan rakyat pada semua level di titik titik pertemuan hingga warung warung kopi pinggir jalan.
Tidak hanya karena kepemimpinan baru ini akan membawa arah kebijakan yang berpotensi signifikan bagi Indonesia, tetapi juga karena pembentukan Kabinet Merah Putih, yang diumumkan segera setelah pelantikan, menjadi pusat perdebatan publik.
Kabinet ini terdiri dari 48 menteri, 56 wakil menteri, serta 5 pejabat setingkat menteri. Terlepas bahwa komposisi kabinet ini terlalu gemuk, harapan kita adalah bagaimana formasi ini merefleksikan keberagaman Indonesia, juga memperlihatkan bagaimana perbedaan pandangan politik dan pribadi disikapi oleh sang Jenderal dengan jiwa besar.
Analisis yang muncul di ruang publik kita menunjukkan spektrum reaksi yang luas, mulai dari pujian hingga kritik tajam. Namun, di tengah semua itu, terdapat satu aspek yang patut diapresiasi, yaitu kemampuan Prabowo Subianto dalam merangkul perbedaan, bahkan terhadap mereka yang di masa lalu menganggap dirinya sebagai “musuh” yang menghambat perjalanan karirnya.
Sikap yang ditunjukkan mantan Danjen Kopassus Ini adalah manifestasi dari kedewasaan berpolitik dan kesadaran bahwa dalam politik, perbedaan bukanlah akhir, melainkan peluang untuk bekerja sama demi kebaikan yang lebih besar.
Kabinet yang Merangkul
Dari susunan kabinet yang diumumkan, menarik untuk dicermati bahwa beberapa figur yang dipercaya oleh Prabowo mengisi posisi strategis di Kabinet Merah Putih adalah orang-orang yang di masa lalu memiliki perbedaan tajam dengan sang Presiden.
Dalam perjalanan karir Prabowo, baik sebagai prajurit TNI maupun sebagai politisi, beberapa dari mereka pernah dianggap sebagai penghalang dalam kemajuan karirnya. Tetapi, dalam momen yang menentukan bagi bangsa, Prabowo menunjukkan sikap yang jauh dari dendam atau permusuhan.
Alih-alih menjaga jarak atau bersikap antagonis, Prabowo justru malah memilih untuk merangkul mereka, memberikan mereka ruang dalam pemerintahan dan peran penting dalam membantunya menjalankan tugas negara.
Sikap Prabowo ini, dalam hemat saya, mengaksentuasi prinsip inklusivitas dalam kepemimpinan, di mana perbedaan pandangan tidak menjadi penghalang bagi kolaborasi. Ini adalah pelajaran penting yang dapat kita ambil, bahwa dalam kehidupan, perbedaan pandangan adalah hal yang lumrah dan tidak bisa dihindari.
Namun, penting dicatat, cara merespons perbedaan inilah yang menentukan kualitas hubungan kita dengan orang lain. Dalam banyak kasus, ekspresi perbedaan pandangan bisa memicu konflik, tetapi dalam kasus Prabowo, perbedaan ini dijadikan alat untuk saling memahami dan memperkuat kerja sama.
Dalam agama kita mengenal terminologi sunnatullah, istilah untuk menyelami sesuatu yang memang Allah SWT ciptakan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, Tuhan menegaskan bahwa manusia diciptakan beragam agar dapat saling mengenal, “li ta’arafu”. Proses saling mengenal ini adalah esensi dari hubungan sosial yang harmonis, di mana perbedaan digunakan sebagai jembatan untuk memahami satu sama lain, bukan sebagai sekat yang memisahkan.
Di tengah perbedaan yang ada, baik secara politik, ideologi, maupun personal, Prabowo tampak mengejawantah nilai spiritualitas sunnatullah ini dengan mengakui perbedaan dan bekerja sama untuk tujuan yang lebih besar, yang, kalau dalam bahasa agama, kita pahami sebagai kalimatun sawa’ atau titik temu.
Tentu saja, ini bukan langkah yang mudah. Banyak orang dalam posisi serupa mungkin akan lebih memilih untuk mengelilingi diri mereka dengan “orang-orang yang sepaham,” tetapi Prabowo, dengan usianya yang kian matang, menunjukkan bahwa jiwa besar seorang pemimpin bukan diukur dari banyaknya pendukung yang sepakat, melainkan dari kemampuan untuk merangkul mereka yang berbeda pandangan.
Pengalaman panjang dan kecakapan dalam merespons perbedaan adalah salah satu ciri kedewasaan, baik dalam konteks pribadi maupun profesional. Pengalaman hidup sang jenderal, ilmu pengetahuan, serta sikap terbukanya terhadap pendapat lain membentuk cara Prabowo menyikapi setiap perbedaan yang muncul.
Harapan Kita
Kabinet Merah Putih yang dibentuk oleh Prabowo Subianto tak lain merupakan akumulasi pergulatan dan pengalaman dari semangat kebersamaan yang ia anut. Dengan mengangkat orang-orang dari latar belakang yang berbeda, baik dalam hal suku, agama, maupun ideologi politik, Prabowo tampak ingin menunjukkan bahwa persatuan dan kebersamaan adalah prioritas utama dalam memajukan bangsa.
Pada akhirnya, keberagaman adalah kekuatan. Membangun Indonesia yang kuat dan bersatu tidak mungkin dicapai dengan menyingkirkan perbedaan, melainkan dengan merangkulnya dan mencari cara terbaik untuk bekerja sama. Prabowo Subianto telah menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan peluang untuk tumbuh dan berkembang bersama.
Prabowo Subianto kini memegang kendali sebagai Presiden Indonesia dengan harapan besar di pundaknya. Masyarakat menginginkan seorang pemimpin yang mampu menyatukan berbagai elemen bangsa dan meletakkan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Dengan sikap kebesaran hati dan komitmen untuk memprioritaskan persatuan, Prabowo diharapkan dapat menghadapi tantangan yang ada dan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
Melalui tindakan nyata dan keberanian untuk mengedepankan kepentingan umum, Prabowo dapat membuktikan bahwa ia siap menggerakkan seluruh potensi bangsa untuk kemakmuran rakyat. Semoga.
*) Suhardi, S.Th.I, penulis adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah 2017-2020 dan pendiri lembaga pemberdayaan pemuda Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)