Kekerasan Pelajar Bukan Lagi Kenakalan

NN Newsroom

Selasa, 5 Agustus 2025

Ilustrasi kelompok geng motor pelajar (Foto: Hasman Dwipangga/ Nasional.news)

Ringkasan cakupan

INSIDEN tragis kembali mengguncang dunia pendidikan Indonesia. Seorang siswa SMK di Koja, Jakarta Utara, menjadi korban penyiraman air keras oleh sekelompok pelajar pada Jumat malam, 1 Agustus 2025. Wajahnya terluka parah.

Tindakan keji ini bukan hanya mencederai satu individu, tapi menjadi cermin retak dari sistem pendidikan dan sosial yang sedang krisis. Aksi penyiraman air keras ini bukan sekadar kenakalan remaja. Ini adalah kriminalitas yang terencana, sadis, dan patut dikategorikan sebagai kejahatan berat.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan bahwa insiden tersebut merupakan bukti bahwa kita tengah menghadapi kondisi darurat dalam pendidikan nasional.

Ia menyebut tindakan para pelajar pelaku bukan hanya mencerminkan kegagalan institusi pendidikan formal, melainkan juga ketidakberesan dalam pola pengasuhan di rumah dan lemahnya kontrol lingkungan sosial.

Pandangan Ubaid sejalan dengan pendapat Adriano Rusfi, praktisi dan pakar pendidikan. Ia menyoroti bahwa konsep remaja masa kini adalah produk sosial pasca-Revolusi Industri, di mana figur ayah sering absen karena beban kerja ekonomi. Anak-anak pun tumbuh dewasa secara fisik, tetapi belum matang secara akal dan moral.

Dalam perspektif Islam, kata Rusfi, kematangan tidak hanya diukur dari baligh, melainkan juga aqil—kemampuan akal untuk memahami konsekuensi dan tanggung jawab.

Ketika aqil tidak tumbuh seiring baligh, yang lahir adalah remaja berperilaku dewasa secara biologis tapi kekanak-kanakan dalam akal dan empati. Ketiadaan empati inilah yang memicu perilaku destruktif, seperti menyiramkan air keras kepada sesama pelajar.

Ini adalah fakta sosial yang tak bisa terus didiamkan. Perilaku kriminal oleh pelajar sudah bukan sekadar ‘kenakalan remaja’. Ketika tindakan menyakiti orang lain dilakukan dengan perencanaan dan tanpa penyesalan, maka itu adalah kejahatan serius. Negara harus memperlakukannya sebagaimana mestinya: sebagai tindak pidana yang diproses secara hukum, tanpa kehilangan pendekatan edukatif dan preventif yang menyeluruh.

Ironisnya, selama ini pendekatan yang digunakan cenderung reaktif. Pembinaan karakter dan rehabilitasi psikis baru dilakukan setelah kekerasan terjadi. Padahal, pelajar di usia SMA seharusnya sudah memahami konsekuensi dari tindakan kriminal. Mereka bukan anak-anak kecil yang belum tahu benar dan salah.

Masalahnya, institusi pendidikan kita terlalu terpusat pada capaian akademik. Ujian, nilai, dan prestasi kognitif jadi tolok ukur utama, sementara pembentukan karakter dan mental hanya jadi wacana di atas kertas. Banyak pelajar yang unggul secara intelektual, namun rapuh secara emosional dan moral. Akibatnya, mereka mudah terlibat dalam aksi brutal demi eksistensi semu.

Reformasi Menyeluruh

Peristiwa ini harus menjadi titik balik. Kita butuh reformasi menyeluruh dalam pendidikan yang tidak hanya mengejar angka, tapi membentuk manusia utuh.

Tragedi penyiraman air keras terhadap siswa SMK di Koja, Jakarta Utara, ini adalah panggilan mendesak bagi semua pihak untuk bergerak. Tak cukup lagi hanya mengecam atau menyesalkan, bangsa ini harus menyusun strategi yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Langkah-langkah yang diperlukan tidak boleh bersifat reaktif, melainkan harus menyentuh akar masalah dan dilakukan secara sistemik.

Langkah Pertama dimulai dari sekolah. Institusi pendidikan tidak bisa lagi hanya menjadi ruang pengajaran akademik. Ia harus berkembang menjadi ruang pembinaan karakter dan mental.

Sudah saatnya kurikulum tidak hanya diisi dengan mata pelajaran eksakta dan sosial, tapi juga dengan pendidikan nilai yang hidup—empati, tanggung jawab, solidaritas, dan kesadaran sosial.

Pembelajaran nilai ini tak cukup dalam bentuk teori atau slogan di dinding sekolah, tapi harus menjadi praktik sehari-hari, melalui kegiatan diskusi terbuka, simulasi konflik, konseling rutin, serta keterlibatan siswa dalam proyek sosial yang nyata. Pendidikan karakter semacam ini harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses belajar, bukan pelengkap atau formalitas administratif.

Langkah Kedua adalah memperketat regulasi terhadap bahan-bahan berbahaya, seperti air keras, yang ternyata bisa diakses dengan mudah oleh pelajar. Fakta ini menandakan kelengahan kita sebagai masyarakat.

Pemerintah bersama aparat keamanan harus menetapkan regulasi yang tegas dan spesifik siapa yang boleh membeli, di mana bahan kimia itu boleh dijual, dan dalam kondisi apa penggunaannya diperbolehkan.

Ini bukan semata urusan pendidikan, melainkan juga soal pengawasan bahan berbahaya yang bisa merenggut nyawa jika disalahgunakan. Toko-toko kimia harus diikutkan dalam skema pengawasan ini, dan pelanggaran harus disanksi secara tegas.

Langkah Ketiga menuntut keterlibatan keluarga dan masyarakat secara aktif. Orang tua tidak bisa lagi hanya menyerahkan urusan pendidikan anak pada sekolah. Mereka harus kembali mengambil peran utama dalam membentuk watak dan moral anak-anak.

Komunikasi terbuka, pendampingan emosional, dan keteladanan dari orang tua adalah fondasi utama dari kepribadian anak. Sementara itu, lingkungan sosial, baik di tingkat RT, RW, maupun kelurahan, harus aktif membentuk ekosistem yang mendukung tumbuhnya generasi sehat mental.

Langkah Keempat adalah restorasi fungsi sekolah itu sendiri sebagai lembaga pemerdekaan akal dan akhlak. Selama ini, terlalu banyak sekolah yang terjebak dalam logika industrialisasi pendidikan. Siswa dicetak seperti produk massal, dinilai berdasarkan angka, dan dilatih hanya untuk lulus ujian nasional atau masuk perguruan tinggi.

Padahal, esensi pendidikan jauh lebih luhur. Sekolah harus menjadi tempat pembentukan manusia utuh, yang cerdas, beradab, dan bertanggung jawab. Guru harus diberi pelatihan bukan hanya dalam bidang pedagogi, tetapi juga dalam mendampingi perkembangan mental siswa. Kepala sekolah harus menjadi pemimpin moral, bukan hanya administrator.

Keempat langkah ini bukan jalan pintas. Masing-masing memerlukan kerja keras, koordinasi lintas sektor, dan perubahan pola pikir dari semua pihak. Tapi jika tidak dimulai dari sekarang, kita akan terus menyaksikan berita-berita kelam seperti tragedi Koja. Dan setiap berita itu akan mengabarkan satu hal bahwa kita telah gagal melindungi masa depan bangsa.

Tragedi Koja harus menjadi alarm keras bahwa kita sedang berada di jalur yang salah. Jika terus dibiarkan, kekerasan pelajar akan menjadi pola berulang yang menghantui masa depan generasi muda kita.

Indonesia Emas 2045, visi besar bangsa ini, hanya akan menjadi ilusi jika generasi penerusnya tumbuh tanpa rasa hormat terhadap nyawa, kemanusiaan, dan hukum.

Pendidikan sejatinya adalah proses peradaban. Ketika pelajar mulai menyiram air keras kepada sesama, maka yang tercoreng bukan hanya wajah korban, tetapi wajah bangsa ini secara keseluruhan.

Sudah saatnya kita berhenti menganggap kekerasan pelajar sebagai kenakalan semata. Ini adalah darurat nasional, dan kita semua harus terlibat dalam solusinya.

EDITORIAL NASIONAL.NEWS

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version