Kelanjutan Perdebatan Konstitusional Keterwakilan Perempuan di DPR

NN Newsroom

Selasa, 24 Juni 2025

Gedung Mahkamah Konstitusi (Foto: dok. mkri.id)

NASIONAL.NEWS — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang penting terkait pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Agenda sidang yang berlangsung Selasa (24/6/2025) ini merupakan kelanjutan dari Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia dan sejumlah pemohon lainnya.

Sorotan Pemohon

Dalam permohonannya, para Pemohon menilai bahwa sejumlah pasal dalam UU MD3 berpotensi merugikan hak konstitusional perempuan.

Mereka menyoroti rendahnya jumlah perempuan dalam kepemimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) periode 2024–2029 yang belum memenuhi ketentuan keterwakilan minimal 30 persen sebagaimana amanat kebijakan afirmatif.

Pasal-pasal yang dipersoalkan meliputi Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2), dan Pasal 157 ayat (1) UU MD3.

Para Pemohon mengusulkan agar ketentuan-ketentuan tersebut diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga dapat menjamin komposisi keterwakilan perempuan minimal 30 persen, baik dalam posisi pimpinan AKD maupun distribusi keanggotaan setiap fraksi di berbagai badan DPR.

Sikap Pemerintah

Dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra tersebut, hadir mewakili Pemerintah Plt. Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan, Rochayati Basra.

Ia menyampaikan pandangan resmi Pemerintah terkait isu ini. Menurutnya, Indonesia sebagai negara hukum telah menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk komitmen peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmatif sebesar 30 persen.

“Kebijakan afirmatif ini merupakan perlakuan khusus yang konstitusional, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, serta sebagai implementasi konvensi HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia,” ujar Rochayati di hadapan Majelis Hakim MK seperti dikutip laman resmi MK.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa penerapan kebijakan afirmatif tersebut tidak boleh melanggar prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi dasar utama sistem demokrasi.

Pemerintah memandang bahwa proses pengisian jabatan di AKD DPR merupakan urusan internal lembaga legislatif yang harus proporsional terhadap kekuatan masing-masing fraksi, bukan sarana pembatasan hak perempuan.

Meritokrasi di Atas Kuota

Rochayati juga menekankan bahwa pengaturan dalam UU MD3 memberikan keleluasaan penuh kepada fraksi-fraksi untuk menentukan pimpinan AKD berdasarkan prinsip meritokrasi, yakni mempertimbangkan kompetensi dan integritas personal para anggota, bukan sekadar pertimbangan jenis kelamin.

Dia menyebutkan, jika kuota 30 persen diberlakukan secara kaku, padahal jumlah anggota perempuan di DPR sendiri belum mencapai angka tersebut, maka akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya.

“Oleh karena itu, lebih tepat jika pengaturan kuota perempuan diatur dalam UU yang bersifat umum, seperti UU Pemilu atau UU Partai Politik,” jelas Rochayati.

Ia juga menegaskan bahwa absennya klausul eksplisit tentang keterwakilan perempuan dalam UU MD3 tidak lantas menutup peluang perempuan untuk menempati posisi strategis di parlemen.

Sebaliknya, menurut Pemerintah, hal ini justru membuka ruang persaingan yang lebih sehat berdasarkan kualitas dan kapasitas masing-masing individu.

Peran Strategis Partai Politik

Pemerintah juga berpandangan bahwa peningkatan keterwakilan perempuan di DPR lebih efektif dilakukan melalui penguatan kaderisasi di partai politik.

Pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, dan pembinaan jangka panjang dinilai lebih menjamin hadirnya perempuan-perempuan tangguh yang mampu memainkan peran substantif di parlemen.

“Perempuan harus disiapkan secara serius melalui pendidikan politik dan pelatihan kepemimpinan agar mereka tidak hanya hadir secara simbolik, tetapi juga mampu mempengaruhi arah kebijakan,” tegas Rochayati.

Sidang ini menjadi catatan penting dalam perjalanan hukum ketatanegaraan Indonesia, terutama dalam upaya mewujudkan parlemen yang lebih representatif tanpa mengorbankan prinsip dasar demokrasi dan meritokrasi.

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version