Dalam dinamika politik Indonesia yang kian kompleks, muncul sebuah fenomena di mana popularitas seorang kandidat tidak lagi menjadi jaminan untuk bisa maju dalam kontestasi politik. Fenomena ini sangat terlihat dalam kasus Anies Baswedan, yang meskipun memiliki popularitas tinggi, namun terancam gagal maju di Pilkada Jakarta. Hal ini memunculkan diskusi yang mendalam mengenai relevansi sistem tiket dalam proses pencalonan, serta refleksi yang perlu dilakukan oleh tokoh-tokoh politik untuk menavigasi tantangan ini.
Sistem tiket dalam politik Indonesia telah menjadi mekanisme yang menentukan apakah seorang kandidat dapat maju atau tidak dalam pemilihan umum. Sistem ini mengharuskan seorang kandidat mendapatkan dukungan dari partai politik untuk bisa maju. Namun, sebagaimana yang diungkapkan oleh Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah, sistem tiket ini menciptakan paradoks di mana popularitas seorang kandidat tidak lagi menjadi faktor utama yang dipertimbangkan oleh partai.
Fahri kepada wartawan di Media Center Partai Gelora, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (12/8/2024), menilai dalam konteks Pilkada Jakarta, popularitas Anies Baswedan tidak akan dipertimbangkan secara signifikan oleh partai-partai pengusung. Hal ini menurutnya disebabkan oleh pragmatisme politik yang mendasari keputusan partai dalam memberikan dukungan kepada seorang kandidat. Dalam beberapa kasus, popularitas hanya dipertimbangkan ketika partai membutuhkan suara untuk bertahan dalam persaingan politik, namun setelah tujuan tersebut tercapai, popularitas kandidat tersebut menjadi tidak relevan.
Fahri Hamzah menekankan pentingnya refleksi bagi Anies Baswedan dan tokoh politik lainnya untuk memahami realitas ini. Dalam pandangannya, sistem tiket saat ini lebih mengedepankan proses kaderisasi dibandingkan dengan popularitas semata. Hal ini menunjukkan bahwa partai politik cenderung memilih kandidat yang berasal dari kader internal yang dianggap lebih loyal dan sejalan dengan visi partai, dibandingkan dengan kandidat populer yang mungkin tidak memiliki ikatan yang kuat dengan partai.
Dengan demikian, Anies dan tokoh-tokoh politik lainnya perlu mempertimbangkan strategi yang lebih mendalam dalam menghadapi sistem tiket ini. Salah satunya adalah dengan memperkuat hubungan dengan partai-partai politik melalui proses kaderisasi yang berkelanjutan, sehingga mereka tidak hanya mengandalkan popularitas, tetapi juga memiliki basis dukungan yang kuat dari dalam partai.
Fenomena lain yang menarik dalam kasus Anies Baswedan adalah pergeseran dukungan dari partai-partai pengusung setelah pemilu selesai. Fahri Hamzah menyoroti bahwa setelah Pilpres 2024, partai-partai yang sebelumnya mendukung Anies, kini mulai meninggalkannya. Menurutnya, dukungan yang diberikan kepada Anies pada awalnya hanya untuk menyelamatkan partai dari kehilangan suara, namun setelah tujuan tersebut tercapai, Anies tidak lagi dianggap penting oleh partai-partai tersebut.
Pergeseran dukungan ini mengindikasikan adanya pragmatisme dalam politik, di mana dukungan yang diberikan kepada seorang kandidat bukan berdasarkan pada visi jangka panjang, tetapi lebih kepada keuntungan jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa dalam politik Indonesia, loyalitas partai terhadap seorang kandidat sangat bergantung pada kepentingan politik yang dinamis dan sering kali berubah seiring dengan perubahan situasi politik.