MENKO Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, tidak bisa menahan kegusarannya. Dia tampak tak terima dengan berbagai suara kritis masyarakat terhadap pemerintah. Luhut menyala!
Alih alih menerima berbagai kritik yang dialamatkan kepada pemerintah sebagai bahan evaluasi dan masukan yang berarti, Luhut malah mau mengusir pengkritik itu keluar dari Indonesia. Lucu sekaligus miris.
Ruang publik pun terbelah. Kontroversi ini mencuat setelah Luhut mengeluarkan pernyataan mengejutkan tentang pengkritik pemerintah, yang kemudian dijawab dengan tegas oleh Capres nomor urut 1, Anies Baswedan.
Anies Baswedan, dengan penuh keyakinan, menyuarakan pandangannya terkait kritik terhadap pemerintah. Baginya, kritik merupakan bagian integral dari proses pembelajaran di tengah-tengah masyarakat dalam negara demokrasi.
Dalam suasana yang semakin terbuka, Anies menekankan bahwa setiap pertanyaan, komentar, atau kritik seharusnya diterima sebagai peluang untuk memberikan penjelasan yang lebih lengkap kepada publik.
Sebagai seorang pemimpin, Anies memberikan contoh dari pengalamannya sendiri. Dia tidak menghindari pertanyaan atau kritik, melainkan menganggapnya sebagai tantangan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat. Baginya, kebebasan berbicara adalah landasan demokrasi yang harus dijunjung tinggi.
“Tinggalkan Indonesia”
Di sisi lain, Luhut Binsar Pandjaitan menunjukkan sikap yang terkesan tak memandang perlu adanya kritik terhadap pemerintah. Dalam pernyataannya yang mengundang pro dan kontra, Luhut menyatakan bahwa orang-orang yang terus-menerus memberikan kritik negatif seharusnya memilih untuk meninggalkan Indonesia.
Pernyataan ini diiringi dengan semangat untuk terus melakukan perbaikan, sambil mengakui bahwa kesempurnaan hanya dapat ditemukan di surga.
Sikap Luhut tersebut tentu saja menuai respon karena dinilai ingin memenjarakan pikiran. Langkah “mengusir” juga dipandang sebagai bentuk otoritarian lain yang jauh dari prinsip prinsip demokrasi yang memungkikan terjadinya keragaman pandangan.
Dalam pandangan Anies, prinsip-prinsip dasar demokrasi Indonesia terdiri dari tiga poin kunci: kebebasan berbicara, pemilu yang adil, dan ruang bagi oposisi. Baginya, keberadaan pengkritik adalah bagian integral dari dinamika demokrasi yang sehat.
Namun, pandangan Luhut menyoroti dilema yang muncul dari kritik yang terus-menerus tanpa solusi yang konstruktif.
Soal keberatan Luhut ini tentu saja dapat diperdebatkan lebih lanjut, berkenaan, misalnya, siapa yang mesti memberi solusi, apakah pemerintah yang digaji tinggi dari uang rakyat atau rakyat sendiri yang harus menghadirkan solusi meskipun telah memandatkan tugas eksekutif itu kepada pemerintah sebagai daulat rakyat.
Perdebatan pasca pernyataan Luhut itu mengemuka memperlihatkan kompleksitas dalam membangun keseimbangan antara kebebasan berbicara dan tanggung jawab atas kata-kata yang diucapkan.
Dalam menghadapi tantangan ini, masyarakat diharapkan untuk tetap kritis namun juga konstruktif. Perdebatan ini bukanlah sekadar pertarungan antara dua tokoh, tetapi juga cerminan dari proses demokratisasi yang terus berlangsung di Indonesia.
Dengan memahami perbedaan pandangan dalam iklim demokrasi negara bangsa, diharapkan masyarakat dapat mengambil hikmah serta menemukan jalan tengah yang memperkuat esensi demokrasi Indonesia. Sembari kita melangkah maju, membangun negara yang lebih baik merupakan tanggung jawab bersama.
EDITORIAL NASIONAL.NEWS