Merdeka untuk Berjaya

Raizal Arifin

Minggu, 17 Agustus 2025

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Umat Islam Raizal Arifin (Foto: Dok. PUI)

HARI ini, Indonesia genap berusia 80 tahun merdeka. Delapan dekade telah kita lewati sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebuah usia yang matang bagi bangsa besar seperti Indonesia. Tetapi pertanyaannya, sudahkah kemerdekaan itu benar-benar kita isi dengan kejayaan?

Kemerdekaan adalah anugerah dan amanah dari Allah SWT. Ia adalah pintu gerbang, bukan garis akhir. Para pendiri bangsa telah menorehkan sejarah dengan darah dan air mata.

Mereka mengusir penjajahan fisik. Namun hari ini, kita masih berhadapan dengan bentuk penjajahan baru: kemiskinan, kebodohan, korupsi, ketidakadilan, dan perpecahan.

Data BPS 2024 menyebut 26,5 juta rakyat kita masih hidup miskin. Tingkat pengangguran terbuka masih di angka 4,8 persen, sementara jutaan sarjana menunggu kesempatan yang tak kunjung datang.

Dalam pendidikan, laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2023 menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 81 negara dalam literasi membaca dan matematika.

Di bidang ekonomi, Oxfam melaporkan 1% orang terkaya menguasai lebih dari setengah kekayaan nasional. Apakah ini wajah kemerdekaan yang kita cita-citakan?

Melangkah Menuju Kejayaan

Kita harus jujur: cita-cita kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945—melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia—belum sepenuhnya terwujud. Tanpa memenuhi cita-cita itu, mustahil bangsa ini melangkah menuju kejayaan.

Namun, di balik keresahan itu ada harapan besar. Lebih dari 54 persen penduduk Indonesia adalah generasi Z dan milenial. Inilah aset emas bangsa.

Pada tahun 2030, kita akan memiliki 191 juta penduduk usia produktif. Jika potensi mereka diledakkan, Indonesia bisa menjadi kekuatan raksasa dunia. Tetapi jika dibiarkan menganggur, maka bonus demografi akan berubah menjadi bencana sejarah.

Menjadi Pemain Utama

Karena itu, bangsa ini tidak boleh hanya puas dengan kemerdekaan. Kita harus melangkah lebih jauh: menjadikannya batu loncatan menuju kejayaan.

Kita harus mencetak generasi yang bukan hanya mencari pekerjaan, tetapi menciptakan pekerjaan. Bukan hanya menjadi penonton arus globalisasi, tetapi menjadi pemain utama yang menentukan arah zaman.

PUI (Persatuan Ummat Islam) memandang bahwa kunci kejayaan adalah islah: persatuan, perbaikan, dan rekonsiliasi.

Kita harus merdeka dari belenggu perpecahan, merdeka dari korupsi yang menggerogoti, merdeka dari kemalasan dan rasa rendah diri. Dan setelah itu, kita harus berjaya sebagai bangsa yang bermartabat, cerdas, berdaulat, dan sejahtera.

Hari ini, di usia kemerdekaan ke-80, mari kita teguhkan tekad. Jangan biarkan pengorbanan para pahlawan berhenti pada upacara dan seremoni.

Jangan biarkan kemerdekaan kita sekadar simbol. Jadikan ia energi kolektif untuk membawa Indonesia menjadi bangsa yang dihormati di mata dunia.

Merdeka bukan hanya untuk hidup.
Merdeka adalah untuk berjaya.

*) Raizal Arifin, penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Ummat Islam (PUI)

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version