DI MASA MASA terakhir jabatannya, Presiden Joko Widodo alias Jokowi punya rencana unik: ngantor di Ibu Kota Nusantara (IKN) selama 40 hari menjelang purnatugas. Kayak mau ngekos di rumah baru sebelum bener-bener pindah. Dengan gaya santai, Jokowi bakal kembali merasakan “vibe” calon ibu kota baru Indonesia itu secara lebih intens. Ya, biar nanti pas cerita ke anak cucu, bisa bilang, “Gue pernah ngantor di sini lho”. Jokowi bakal ngantor di IKN mulai Selasa (10/9) besok sampai sehari jelang akhir masa jabatannya.
Sikap santai Jokowi ini bisa dilihat dari gayanya yang tetap “down to earth”. Tapi di balik itu, ini jelas langkah simbolis. Dia pengin ninggalin kesan bahwa IKN itu beneran prioritas nasional. Karena, siapa tahu, 40 hari terakhir ini jadi semacam pesan untuk para penerus, “Eh, jangan main-main sama IKN ya!”
“Ngantor” di sini bukanlah sekadar kunjungan biasa atau inspeksi singkat, tapi benar-benar seperti pindah rumah sementara. Bak seorang sutradara yang ingin menyutradarai adegan klimaks terakhirnya dengan sempurna, Jokowi memilih untuk “terjun langsung” di lokasi yang paling simbolis dari seluruh karier politiknya: proyek IKN.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah ini langkah nyata atau benar benar hanya simbolisme belaka? Apa yang sebenarnya ingin dicapai Jokowi dengan bekerja di IKN selama 40 hari, seperti seorang pertapa modern yang mencari pencerahan?
Konteks Proyek IKN
Jika kita mundur sejenak, proyek IKN bukanlah proyek biasa. Ini adalah proyek ambisius yang diimpikan Jokowi sebagai solusi untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta yang kian padat dan rentan bencana. Nusantara, nama yang dipilih untuk IKN, adalah sebuah simbol dari Indonesia yang ingin bangkit dan menatap masa depan. Proyek ini bukan hanya tentang memindahkan gedung pemerintahan, tapi juga tentang memindahkan paradigma bangsa: dari yang terpusat di Jakarta menjadi lebih tersebar dan merata, dalam istilah Jokowi: Indonesia sentris!
Tentu saja, seperti proyek besar lainnya, IKN penuh dengan tantangan. Mulai dari masalah anggaran, infrastruktur, hingga kritik tajam dari pihak-pihak yang meragukan realisasinya. Ada pula isu lingkungan yang menjadi sorotan, terutama terkait dampak pembangunan terhadap ekosistem Kalimantan. Namun, bagi Jokowi, IKN adalah mahakarya yang harus diwujudkan, apapun risikonya.
Mengapa 40 Hari?
Pilihan angka “40 hari” tentu saja mengundang tanda tanya. Angka ini tidak sembarangan. Dalam budaya kita, 40 hari sering dikaitkan dengan fase penting dalam kehidupan, seperti periode berkabung atau persiapan spiritual. Apakah Jokowi ingin menyampaikan pesan tersirat bahwa ini adalah periode “spiritual” terakhirnya sebagai presiden?
Atau apakah ini hanya kebetulan belaka, sebuah periode yang dipilih secara logistik karena masa jabatannya hampir habis? Atau, seperti dicurigai sejumlah pihak, bahwa jangan jangan ini hanya sekedar untuk menghindari aksi unjuk rasa yang ramai di Jakarta jelang beliau lengser keprabon madeg pandito.
Di sisi lain, beberapa pengamat politik berspekulasi bahwa 40 hari ini bisa jadi adalah kesempatan bagi Jokowi untuk menuntaskan beberapa target konkret di lapangan. Dengan berkantor langsung di IKN, ia bisa memantau perkembangan proyek secara intensif, mengatasi hambatan yang mungkin muncul, dan memastikan bahwa fondasi IKN benar-benar siap sebelum ia menyerahkan tampuk kepemimpinan.
Tantangan yang Menanti
Berkantor di IKN tentu bukan tanpa tantangan. Nusantara, meskipun digadang-gadang sebagai ibu kota masa depan, masih dalam tahap pembangunan. Beberapa infrastruktur dasar memang sudah ada, tetapi banyak yang masih belum rampung. Bekerja dari lokasi yang masih “berdebu” mungkin akan menjadi pengalaman unik bagi Jokowi, yang selama ini lebih sering berurusan dengan kenyamanan Istana Negara di Jakarta.
Dari sudut pandang logistik, ini juga menarik. Bagaimana dengan staf presiden? Apakah semua akan dipindahkan sementara ke Nusantara? Bagaimana dengan urusan protokoler dan keamanan? Tidak bisa dipungkiri, mengelola pemerintahan dari lokasi yang belum sepenuhnya jadi akan memerlukan penyesuaian yang besar. Apakah ini akan menghambat atau justru mempercepat proses pembangunan?
Sebagian pihak mungkin melihat langkah ini sebagai pencitraan belaka. Tentu saja, tidak sedikit yang mengkritik bahwa berkantor di IKN hanyalah upaya untuk meninggalkan “legacy” yang lebih besar sebelum masa jabatannya berakhir. Namun, apakah ini sekadar pencitraan? Jika dilihat lebih dekat, ada kemungkinan bahwa Jokowi benar-benar serius ingin memastikan bahwa IKN siap setidaknya untuk tahap awal pemerintahan berikutnya.
Jika IKN bisa menampung setidaknya sebagian fungsi pemerintahan sebelum Jokowi lengser, itu akan menjadi pencapaian besar. Bayangkan saja, seorang presiden yang tidak hanya bermimpi, tapi juga berani mengambil langkah besar untuk mewujudkannya, meski waktu yang tersisa sangat terbatas.
Langkah Jokowi ini bisa dibilang cukup berbeda dengan gaya kepemimpinan pemimpin Indonesia sebelumnya. Kebanyakan presiden di akhir masa jabatan mereka lebih memilih untuk menjaga stabilitas, menghindari kontroversi, dan lebih banyak fokus pada “perpisahan” yang mulus. Namun, Jokowi tampaknya enggan untuk bersantai. Alih-alih menghabiskan hari-hari terakhirnya di Istana dengan refleksi atau nostalgia, ia memilih untuk “berperang” hingga detik terakhir.
Ini mengingatkan kita pada sifat Jokowi yang tidak biasa. Sejak pertama kali terpilih, ia sudah dikenal sebagai presiden yang tidak kenal lelah. Mulai dari blusukan hingga kunjungan kerja ke daerah-daerah terpencil, Jokowi selalu menempatkan dirinya di “garis depan”. Maka, berkantor di IKN selama 40 hari bisa jadi adalah wujud dari prinsip hidupnya yang selalu ingin hadir dan berkontribusi langsung di lapangan.
Apa yang Bisa Kita Harapkan?
Tentu saja, publik akan terus mengawasi apa yang akan terjadi selama 40 hari tersebut. Akankah ada percepatan pembangunan yang signifikan di IKN? Ataukah ini hanya akan menjadi momen simbolis yang penuh dengan liputan media tapi minim hasil nyata?
Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar seperti misi yang terlalu ambisius. Namun, jika kita belajar dari sejarah, pemimpin besar seringkali membuat keputusan berani di penghujung masa jabatannya. Mereka ingin meninggalkan warisan yang akan dikenang sepanjang masa, dan bagi Jokowi, IKN adalah warisan tersebut.
Sementara bagi sebagian lainnya, langkah ini justru menimbulkan harapan baru. Bahwa meskipun ada banyak kritik, Jokowi serius dengan proyek ini. Ia tidak sekadar menyerahkan IKN kepada pemerintahan berikutnya dengan setengah jadi, tapi benar-benar ingin meletakkan fondasi yang kuat.
Akhir masa jabatan Jokowi akan diwarnai oleh satu hal: Ibu Kota Negara Nusantara. Tentu publik berharap langkahnya untuk berkantor selama 40 hari di sana bukanlah sekadar simbolisme belaka, tapi juga wujud dari ambisinya untuk menciptakan sesuatu yang monumental. Seperti seorang seniman yang tidak ingin meninggalkan kanvasnya sebelum goresan terakhir selesai, Jokowi tampaknya ingin memastikan bahwa proyek ini tidak hanya berjalan di atas kertas, tetapi benar-benar menjadi kenyataan.
Apakah 40 hari ini akan cukup untuk menciptakan perubahan signifikan? Hanya waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal yang pasti: sejarah akan mencatat Jokowi sebagai presiden yang berani bermimpi besar, dan bersedia mengambil langkah-langkah yang tidak biasa demi mewujudkan mimpi tersebut.[]
EDITORIAL NASIONAL.NEWS