Panas Bumi Jadi Kunci Jawaban ‘Trilema Energi’ Asia

NN Newsroom

Senin, 6 Oktober 2025

Asia New Vision Forum 2025 di Singapura (Foto: Dok. Pertamina)

NASIONAL.NEWS — PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) kembali menegaskan bahwa transisi energi bukan sekadar menambah kapasitas pembangkit listrik dari sumber terbarukan, tetapi juga menjaga agar pasokan listrik tetap andal dan industri nasional tetap kompetitif.

Pandangan itu disampaikan Direktur Keuangan PGE, Yurizki Rio. “Transisi energi tidak cukup hanya berbicara soal penambahan gigawatt. Kita juga harus memastikan listrik tetap tersedia dan industri tetap kompetitif,” ujar Yurizki dalam keterangannya, Senin (6/10/2025).

Ia menambahkan, Asia sedang menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan kebutuhan energi fosil dan energi terbarukan.

“Hari ini, Asia tidak hanya berbicara soal dekarbonisasi, tetapi juga bagaimana menyeimbangkan kembali bauran energi. Energi fosil masih menjadi tulang punggung listrik baseload di banyak negara untuk menjaga ketahanan,” katanya, yang menyampaikan pandangannya dalam forum Asia New Vision Forum (ANVF) 2025 di Singapura belum lama ini..

PGE menilai panas bumi memiliki posisi strategis dalam menjembatani transisi tersebut. Indonesia, dengan potensi sekitar 24 gigawatt (GW) atau 40 persen dari total cadangan panas bumi dunia, dinilai mampu menjadi poros energi bersih Asia.

“Panas bumi bersifat lokal, bersih, dan bisa beroperasi sepanjang waktu. Ia tidak bergantung pada cuaca seperti angin atau matahari,” jelas Yurizki.

Keterjangkauan, Keandalan dan Keberlanjutan

Dalam penjelasannya, Yurizki memperkenalkan istilah “trilema energi” — keterjangkauan, keandalan, dan keberlanjutan.

“Jika salah satu aspek diabaikan, akan muncul instabilitas. Panas bumi secara alami menjawab ketiganya,” ucapnya.

Namun, ia juga menyoroti tantangan terbesar dalam realisasi energi bersih, yakni pendanaan.

Menurut data International Energy Agency (IEA), Asia-Pasifik perlu melipatgandakan investasi energi bersih hingga tiga kali lipat dalam waktu kurang dari satu dekade — dari US$770 miliar saat ini menjadi lebih dari US$2,3 triliun per tahun pada 2030.

Yurizki menyebut, Indonesia menghadapi kebutuhan serupa. Setiap tahun, dia menyebutkan, dibutuhkan sekitar US$20–25 miliar untuk sektor energi, terutama panas bumi, surya, dan hidro.

“Satu sumur panas bumi bisa menelan biaya hingga US$6 juta, dan risiko eksplorasinya tinggi,” katanya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, PGE menjaga disiplin finansial agar proyek tetap bankable dan menarik bagi investor global.

“Kolaborasi bukan sekadar pendanaan, tapi juga berbagi keahlian dan membangun ekosistem energi bersih yang saling menguntungkan,” ujar Yurizki.

Energi Motor Pertumbuhan

Lebih jauh Yurizki menguriakan Indonesia sering disebut sebagai “Saudi Arabia of geothermal” berkat cadangan panas bumi melimpah. Namun, dari total potensi 24 GW, baru sekitar 2,6 GW yang dimanfaatkan.

Yurizki menegaskan, pengembangan panas bumi tidak hanya soal dekarbonisasi, tetapi juga penggerak ekonomi.

“Energi terbarukan bukan hanya solusi iklim, tetapi juga motor pertumbuhan. Setiap investasi US$1 miliar di panas bumi dapat menggerakkan industri lokal dengan multiplier effect hingga 1,25 kali,” ungkapnya.

Sebagai langkah konkret, PGE meluncurkan Pilot Project Green Hydrogen (Hidrogen Hijau) Ulubelu pada 9 September 2025. Proyek ini menjadi bagian dari strategi beyond electricity, memanfaatkan panas bumi tidak hanya untuk listrik, tetapi juga produk turunan yang mendukung industri hijau dan ekonomi lokal.

“Bagi kami, pengembangan panas bumi bukan hanya soal energi, tapi tentang membangun masa depan ekonomi rendah karbon yang tangguh,” tutup Yurizki.

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version