Paradoks Indonesia, Negara Paling Religius Tapi Masyarakatnya Nakal

MASYARAKAT Indonesia konon memandang religiusitas sebagai hal yang penting dalam hidup. Bukan tanpa dasar, penelitian Pew Research Center yang bertajuk “The Global God Divide” (2020) menunjukkan bahwa 96% masyarakat Indonesia percaya bahwa agama sangat penting.

Temuan Pew Research Center lainnya, menunjukkan bahwa 96% orang Indonesia mengaku rutin berdo’a dan beribadah setiap hari. Hal inilah yang membuat Indonesia dinobatkan sebagai negara paling religius, paling rajin beribadah hariannya.

berwajah dua

Namun, ironisnya, perilaku masyarakat di negara paling religius ini, banyak yang bertentangan dengan nilai-nilai religi itu sendiri. Hal ini sangat paradoks dan membuat kita terheran-heran. Misalnya, survei Pornhub pada tahun 2015 dan 2016 menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara dengan jumlah pengakses situs dewasa tertinggi.

Statistik Pornhub menunjukkan bahwa setidaknya 92 miliar video telah ditonton dengan rata-rata 64 juta kunjungan setiap hari, atau 44.000 kunjungan per menitnya oleh masyarakat Indonesia. Data lainnya, Digital Civility Index (Indeks Keberadaban Digital) yang dirilis oleh Microsoft pada tahun 2020, menempatkan Indonesia di peringkat ke 29 dari 32 negara.

Artinya, Indonesia adalah negara paling tidak beradab se-Asia. Pasalnya, netizen Indonesia kerap kali melakukan cyberbullying, hate speach, diskriminasi, misogini, hoax, trolling, doxing, micro-aggression, pelecehan terhadap kaum marjinal, dan lain sebagainya. Hal yang sama sekali tidak sesuai dengan nilai religiusitas.

Selain itu, tidak tanggung-tanggung, menurut data Drone Emprit (2023), Indonesia memiliki lebih dari 200 ribu pemain judi online, terlampau jauh jumlahnya dibanding Kamboja di urutan kedua dengan 26 ribu pemain. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pemain judi online terbanyak di dunia.

Belum lagi ketika kita berbicara tingkat korupsi di Indonesia, melihat nilai Corruption Perception Index (CPI) cukup membuat pusing tujuh keliling, negara kita tercinta ini hanya mendapatkan nilai 34/100, menempatkan Indonesia di posisi 115 dari 180 negara.

Tentunya ini menjadi noktah merah bagi Indonesia di mata dunia. Sungguh suatu fakta yang ironis sekali bukan? Kenakalan-kenakalan yang disebutkan di atas tentu saja hanya sebagian potret dari kenakalan lainnya. Namun dapatkah kita menyalahkan agama atas kegagalan tersebut?

Berislam Sebagai Artikulasi Tiada Henti

Kita seringkali memiliki pandangan yang bias antara agama dan pemeluk agama itu sendiri. Tetapi memang sudah sewajarnya sifat religius bertolak belakang dengan sifat nakal, tetapi religius bukan berarti agama itu sendiri. Sebab religious tidak sama dengan religion.

Sisi lain, relijius seringkali diasosiasikan sebagai aktivitas ritual semata, padahal ia lebih jauh. Ada nilai yang terkandung dalam setiap aktivitas ritualistis, di mana banyak hikmah yang tujuannya untuk mendidik para penganutnya. Hal ini menandakan, banyak penganut hanya menitik beratkan “ritual”, alih-alih mengenal lebih dekat value dari ajaran agama.

Hal ini menjadikan adanya lapisan yang jarang tersentuh oleh penganut agama untuk benar-benar bersikap relijius secara substansial. Bukankah Tuhan telah mengingatkan bahwa ibadah salat dilaksanakan agar umat tercegah dari keburukan dan kemungkaran?

Seharusnya, jika agama dihayati dan diamalkan dengan tulus, seseorang akan tetap menjadi pribadi yang saleh, terlepas dari apakah ia tinggal di negara sekuler. Namun, jika seseorang tidak menghayati nilai-nilai agama secara mendalam, meskipun ia berada di negara yang berlandaskan teokrasi, agama hanya akan menjadi formalitas belaka.

Jika banyak gugatan atau anggapan bahwa agama tidak punya ruang implementasi adalah sebab ajaran agama tidak diformalisasikan dalam tatanan peraturan perundang-undangan, maka hal itu keliru. Sebab problem yang ada, lebih dititik beratkan pada masalah moral ketimbang etika komunal yang dibangun.

Apabila ketentuan agama diformalkan, akan membuat agama menjadi lebih mudah tertuduh gagal, karena ternyata aturan perundang-undangan yang berbasis agama tersebut tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Ujung-ujungnya kita akan menjadi kelompok apologetik—“ini masalah orangnya”.

Seyogyanya, agama dan umatnya, ulama dan jamaahnya, harus terus melakukan artikulasi yang membawa insan pada pemahaman yang esensial atas ajaran agama. Umat harus mendekati agamanya, karena pengetahuan mengenai agama tidak datang begitu saja.

Bukankah perintah awal yang disampaikan Tuhan adalah Iqra’ (bacalah)? Tidak hanya qauliyah (Kalam Allah) tetapi juga kauniyah (realitas)? Bukan pula sering Tuhan memantik umatnya untuk berpikir (afala ta’qilun)?

Dengan demikian para ulama harus pula mendekati jamaahnya (baca: orang awam), begitu juga dengan insan biasa yang harus mendekati para alim. Hal ini menandakan perlunya hubungan yang saling tarik-menarik dan pergerakan yang dinamis untuk mencapai suatu komunitas muslim yang mengerti betul makna ajaran agamanya.

Tanggung jawab ulama tentu lebih besar, sebagaimana Clifford Gertz menganggap ulama sebagai cultural broker dan agent of change menurut Hiroshiki. Namun, tidakkah tanggung jawab ini menunjukkan kebutuhan hubungan antara ulama dengan kehidupan masyarakat sekitarnya?

Untuk itu, cendekiawan muslim seperti Ismail Fajrie Alatas memandang bahwa berislam merupakan upaya terus menerus untuk menumbuhkan karakter dan sifat dalam diri seseorang yang baik serta memperkuat daya tahan dari segala hal-hal negatif yang menghambat pertumbuhannya.

Demikianlah sunnatullah kehidupan dunia yang tidak pernah mencapai derajat sempurna di mana setiap sisi kehidupan dituntut untuk secara terus menerus berproses maju ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, Islam merupakan buah dari ikhtiar tanpa henti dalam memupuk entitas hidup.

Hal demikian akan membawa umat beragama pada keinsyafan akan makna dan tujuan hidup pribadi (meaning and purpose of life), namun hal tersebut tidak akan dapat digapai apabila umat berlaku statis dan pasif untuk tidak menghayati agama sebagai nilai dan pandangan hidup.[]

*) Raghib Muhammad Sakho, penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI)

Pos terkait