BEBERAPA waktu lalu, ramai orang mengulas soal harga makanan. Yang membeli merasa tak sesuai, harga terlampau tinggi. Namun begitu ia posting di media sosial, sejagat ramai, mulailah ribut makanan.
Pro kontra mulai mengemuka, menjalar kemana-mana.
Ada yang berpendapat wajar, biasa. Tidak sedikit yang memandang salah kepada orang yang beli makanan, yang katanya tak tahu diri.
Tetapi terlepas dari hal itu, menarik ungkapan Buya Hamka dalam buku “Falsafah Hidup.”
Bahwa makan itu bukan untuk memuaskan nafsu belaka. Makan adalah untuk melengkapi hidup.
Kesadaran akan hal itu akan mendorong jiwa dan akal cakap mengontrol hawa nafsu, sehingga kita terampil menjaga langkah tetap dalam kebenaran, mengawasi dan menimbang, hingga tak kehilangan sisi kemanusiaan diri.
Karena memang manusia tidak hanya punya akal, tetapi juga Allah beri hawa nafsu.
Jadi, kadangkala manusia lepas dari garis kemanusiaannya, terseret pada kesalahan, keteledoran, kesilapan dan kegagalan.
Kebermanfaatan
Dalam teori Maslow ketika orang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya, makan, minum, tempat tinggal dan pakaian, maka ia butuh ruang teratas, yaitu aktualisasi.
Bagi Bertrand Russel itulah yang membuat manusia lebih buas dari ular.
Ular ketika makan binatang lain, perutnya kenyang, ia akan tidur. Tetapi manusia tidak.
Ketika makan sudah, rumah punya, maka ia akan semakin mengobarkan ambisi. Segala hal ia ingin miliki.
Perhatikanlah para koruptor, mereka bukan orang miskin. Mereka bahkan punya jabatan. Tapi itulah yang Bertrand Russel uraikan, manusia kadang bisa lebih buas dari ular.
Ambisi sebenarnya adalah cara kerja naluriah manusia yang terkontaminasi hawa nafsu secara dominan, sehingga ia mencari hal yang tidak substansial.
Bagi Buya Hamka, kalau ambisi itu soal mahkota, mahligai, pangkat, kehormatan, kekayaan dan sebagainya, maka itu hanyalah pinjaman. Tak abadi, tak kekal alias hanya semu belaka.
Termasuk kemiskinan harta, hanyalah suatu kondisi yang Allah berikan sebagai ujian. Bukan hukuman.
Oleh karena itu kalau ada yang harus manusia kejar, maka itulah kekayaan batin.
“Walaupun uang pergi dan datang, pangkat naik atau jatuh, namun kekayaan jiwa itu tidaklah akan meninggalkan diri. Umpamanya ialah ilmu, hikmah, budi, bahasa, insaf, dan sadar.”
Oleh karena itu jadilah insan yang hidup dengan kekayaan jiwa, itulah yang memungkinkan diri ini menjadi pribadi penuh manfaat dalam kehidupan.
Timbangan Hidup
Buya Hamka, sekali lagi memberikan rekomendasi bagaimana idealnya manusia bersikap, berpikir bahkan bertindak.
Idealnya, sebelum seseorang memilih suatu pekerjaan, ia pelajari dahulu dengan baik, sehingga tak mudah goyah, terseret keadaan kesana kemari.
Kemudian mampu menimbang sebelum berjalan. Menimbangnya pun dengan pendapat dan akal yang merdeka. Tidak ada tekanan atau pengaruh A atau B. Benar-benar atas kemerdekaan diri dalam berpikir.
Selanjutnya kata Buya Hamka mampu “memakai pakaian yang sesuai dengan tubuhnya.”
Artinya memiliki independensi, tidak terbawa oleh pendapat A, B atau apapun. Ia benar-benar menentukan pilihannya yang sesuai dengan jati dirinya. Tak perlu meniru apalagi sama dengan orang lain, yang itu malah tak sesuai.*
EDITORIAL NASIONAL.NEWS