KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) akan menganugerahkan medali kehormatan Loka Praja Samrakshana kepada Presiden Joko Widodo, Senin (14/10/2024) besok. Medali ini memiliki arti ‘perlindungan terhadap rakyat dan publik’. Pada saat yang sama, Jokowi juga akan diangkat sebagai Warga Kehormatan Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri.
Nama medali Loka Praja Samrakshana sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang secara harfiah berarti “perlindungan rakyat dan publik.” Dalam tradisi Polri, pemberian medali kehormatan ini dimaksudkan untuk mengapresiasi kontribusi tokoh-tokoh yang dianggap berjasa besar dalam menciptakan dan menjaga keamanan serta kesejahteraan publik.
Jokowi, sebagai Presiden RI, diakui karena perannya dalam mengarahkan kebijakan keamanan nasional, termasuk upaya stabilisasi politik dalam negeri di tengah berbagai tantangan global seperti pandemi, ancaman terorisme, dan gejolak sosial.
Namun, penghargaan ini tidak terlepas dari kritik. Sebagian pihak mempertanyakan apakah pemberian medali tersebut benar-benar berdasarkan kontribusi substansial ataukah lebih banyak didorong oleh upaya membangun legitimasi politik dan personal.
Sebagai kepala negara yang juga mengendalikan berbagai lembaga keamanan, termasuk Polri, ada kekhawatiran bahwa penghargaan ini lebih merupakan simbol mutualisme antara pemimpin negara dan lembaga keamanan yang berada di bawah otoritasnya.
Selain medali kehormatan, Jokowi juga akan diangkat sebagai Warga Kehormatan Brimob. Brimob, sebagai satuan elit Polri, memiliki sejarah panjang dalam menangani berbagai peristiwa besar di Indonesia, mulai dari penumpasan terorisme, kerusuhan sipil, hingga bencana alam.
Pengangkatan Jokowi sebagai Warga Kehormatan Brimob dapat dilihat dari berbagai perspektif. Di satu sisi, ini merupakan bentuk pengakuan atas upaya Jokowi dalam menjaga stabilitas nasional melalui peran institusi keamanan. Namun, di sisi lain, pengangkatan ini juga dapat ditafsirkan sebagai bagian dari pola relasi kuasa antara presiden dan lembaga penegak hukum.
Ada narasi bahwa penyerahan gelar kehormatan ini juga bisa menjadi bentuk penguatan simbolik terhadap legitimasi presiden di mata institusi yang memiliki kapasitas besar dalam menjaga keamanan nasional.
Relasi antara presiden dan lembaga keamanan, terutama Brimob, sudah lama menjadi sorotan, terutama dalam konteks kebijakan-kebijakan keamanan yang diambil di masa pemerintahan Jokowi. Salah satu contohnya adalah penanganan aksi demonstrasi besar pada tahun 2019, di mana Brimob memainkan peran kunci dalam menjaga keamanan, namun di saat yang sama mendapatkan kritik keras terkait dugaan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Kejadian ini meninggalkan pertanyaan tentang sejauh mana penghormatan terhadap hak asasi manusia diupayakan dalam menjaga keamanan nasional.
Cerminan Keselamatan Rakyat
Medali Loka Praja Samrakshana diharapkan merepresentasikan nilai-nilai luhur terkait tanggung jawab negara terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Namun, pertanyaannya adalah apakah narasi perlindungan terhadap publik ini benar-benar tercermin dalam kebijakan dan praktik di lapangan?
Selama masa kepemimpinan Jokowi, terdapat sejumlah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan nasional, namun beberapa di antaranya menuai kontroversi.
Salah satu kebijakan yang cukup menonjol adalah pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang memicu gelombang protes besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat.
Respon aparat keamanan terhadap aksi protes ini, menjadi sorotan utama. Meskipun pemerintah berargumen bahwa langkah tersebut diperlukan demi stabilitas ekonomi, banyak yang mempertanyakan sejauh mana kebijakan itu benar-benar melindungi kepentingan publik, terutama kelas pekerja dan masyarakat marginal.
Dalam konteks ini, pemberian medali yang melambangkan perlindungan rakyat dapat dipandang kontradiktif jika dibandingkan dengan dinamika sosial dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Kritik pun muncul terkait bagaimana perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara diprioritaskan dalam proses pengambilan kebijakan yang seringkali dianggap lebih berpihak pada elite ekonomi dan kepentingan investasi.
Brimob Polri memiliki sejarah panjang sebagai salah satu ujung tombak penegakan hukum dan keamanan di Indonesia. Kiprahnya dalam berbagai operasi keamanan, baik dalam menangani konflik bersenjata di Aceh, Papua, hingga operasi anti-terorisme, telah menjadikan Brimob sebagai institusi yang memiliki reputasi kuat dalam hal kedisiplinan dan kemampuan operasional. Namun, reputasi ini juga kerap diiringi dengan kontroversi.
Di era pemerintahan Jokowi, Brimob berperan aktif dalam menjaga stabilitas, terutama pada momen-momen kritis seperti pemilihan umum dan demonstrasi besar. Meski diakui atas perannya dalam menjaga ketertiban, Brimob sering dikritik terkait pendekatan represif dalam menangani aksi-aksi unjuk rasa.
Beberapa kelompok masyarakat sipil menyuarakan kekhawatiran bahwa institusi seperti Brimob telah menjadi alat kekuasaan yang lebih melayani kepentingan politik tertentu dibandingkan dengan perlindungan hak-hak sipil masyarakat luas.
Pengangkatan Jokowi sebagai Warga Kehormatan Brimob, dalam perspektif kritis, bisa dipandang sebagai bentuk konfirmasi hubungan simbiotik antara pemimpin politik dan lembaga keamanan. Hubungan ini, meskipun penting untuk stabilitas, juga menyisakan pertanyaan tentang independensi lembaga penegak hukum dalam menjalankan fungsinya secara netral dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik.
Pemberian medali Loka Praja Samrakshana kepada Presiden Jokowi dan pengangkatannya sebagai Warga Kehormatan Brimob Polri menimbulkan berbagai interpretasi. Di satu sisi, penghargaan ini mengapresiasi peran penting Jokowi dalam menjaga stabilitas nasional dan kontribusinya dalam kebijakan keamanan.
Namun, di sisi lain, momen ini juga seolah merefleksikan hubungan kekuasaan yang lebih dalam antara pemimpin negara dan lembaga penegak hukum, sebuah hubungan yang tidak lepas dari kritik mengenai transparansi, akuntabilitas, dan netralitas institusi keamanan dalam menjalankan tugas mereka.
Sejauh mana medali ini benar-benar merepresentasikan komitmen terhadap perlindungan rakyat atau justru menjadi bagian dari politik simbolik yang memperkuat legitimasi kekuasaan? Ini menjadi pertanyaan penting yang harus dijawab, terutama di tengah lanskap politik yang semakin dinamis dan ekspektasi masyarakat akan perlindungan hak-hak sipil yang lebih kuat.
Presiden Jokowi kini berada di persimpangan penting, di mana setiap langkahnya tidak hanya menentukan arah kebijakan nasional, tetapi juga bagaimana sejarah akan mencatat peran kepemimpinannya dalam menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan kepentingan rakyat.
EDITORIAL NASIONAL.NEWS