MIHAS 2025 dan Tekad Indonesia Memimpin Industri Halal Global

Abdul Chadjib Halik

Sabtu, 20 September 2025

LANGIT cerah Kuala Lumpur pada pertengahan September 2025 menyambut ribuan tamu dari berbagai penjuru dunia.

Di gedung megah Malaysia International Trade and Exhibition Centre (MITEC), percakapan dalam berbagai bahasa berbaur dengan aroma kopi, rempah, dan kuliner halal khas aneka bangsa.

Suasana itu menandai dimulainya Malaysia International Halal Showcase (MIHAS) 2025, pameran halal terbesar di dunia yang berlangsung pada 17–20 September.

Tahun ini MIHAS menghadirkan lebih dari 1.500 peserta pameran dengan target 35.000 pengunjung internasional serta potensi transaksi bernilai ratusan juta dolar. Ia disebut-sebut sebagai “Piala Dunia Industri Halal” karena bukan hanya berfungsi sebagai etalase dagang, melainkan juga arena pertarungan ide, inovasi produk, serta arah masa depan ekonomi global.

Dibuka Perdana Menteri

Pada hari ketiga, Jumat 19 September 2025, suasana puncak terbangun ketika Perdana Menteri Malaysia, Dato’ Seri Anwar Ibrahim, hadir menyampaikan pidato inspiratif.

Anwar menegaskan bahwa dasar kebijakan negara, termasuk dalam isu internasional seperti penderitaan rakyat Palestina di Gaza, harus berpijak pada nilai kemanusiaan dan keberkatan rezeki.

“Inilah roh halal yang sebenar—ia bukan sekadar tanda pada produk, tetapi cara hidup yang menegakkan maruah dan keadilan,” ujar Anwar, disambut tepuk tangan panjang hadirin.

Pesan Anwar itu menegaskan bahwa halal tidak boleh dipersempit dalam ranah bisnis semata, melainkan harus dimaknai sebagai panduan moral yang meliputi dimensi sosial, politik, hingga kemanusiaan global.

Di tengah gegap gempita MIHAS, bendera merah putih turut berkibar. Indonesia hadir penuh percaya diri, salah satunya melalui partisipasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) Hidayatullah.

Kehangatan dari Booth 7H13

Di hall tujuh MITEC, sebuah booth sederhana bernomor 7H13 menarik perhatian. Desainnya tidak mencolok, namun pengunjung datang silih berganti. Both itu adalah Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) Hidayatullah.

Orang orang berdatangan. Ada yang penasaran dengan sistem sertifikasi halal di Indonesia, ada pula calon mitra dari Korea dan Cina yang ingin memahami mekanisme audit halal untuk produk ekspor.

Suasananya hangat. Pengunjung kerap disambut secangkir kopi nusantara yang harum. Dari percakapan ringan, lahir diskusi serius.

Muhammad Faisal, Direktur LPH Hidayatullah, berseloroh namun dengan nada penuh keyakinan: “Jangan remehkan obrolan lima menit di booth pameran. Kadang lebih berarti daripada lima jam meeting formal di ruang kantor.”

Ucapan itu terbukti. Pada hari pertama, sejumlah investor dari Malaysia dan Cina langsung menjadwalkan pertemuan lanjutan. Dari percakapan singkat, pintu kolaborasi global mulai terbuka. Booth 7H13 pun menjadi simbol kecil dari tekad besar Indonesia.

Indonesia dan Tantangan Menjadi Produsen

Indonesia sering digambarkan sebagai raksasa tidur dalam industri halal. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, potensi pasarnya luar biasa. Namun terlalu lama negeri ini puas menjadi konsumen, bukan produsen utama.

Pesan dari MIHAS 2025 menjadi pengingat penting. Saatnya Indonesia bertransformasi dari pasar menjadi pusat inovasi halal global. Dari dapur lokal menuju rak global, dari penonton menjadi pemimpin.

MIHAS tidak hanya menyajikan pameran dagang. Forum bisnis, seminar, dan sesi business matching menghadirkan ruang gagasan.

Delegasi Indonesia ikut aktif membicarakan isu digitalisasi halal, rantai pasok global, hingga proyeksi industri halal yang diperkirakan mencapai USD 5 triliun pada 2030.

Namun, di balik angka-angka itu, tersimpan makna yang lebih dalam, bahwa sertifikat halal bukan sekadar dokumen administratif, melainkan amanah dunia-akhirat. Halal adalah bagian dari misi peradaban, yang memadukan strategi ekonomi dengan dimensi ruhaniyah.

Di tengah forum serius, humor segar muncul dari salah seorang auditor LPH Hidayatullah. Ia memberi analogi sederhana: “Kalau nongkrong di kafe tinggal scan QR untuk pesan kopi. Di dunia halal pun sama. Bedanya, yang kita pesan bukan sekadar minuman, melainkan kepastian syariah.”

Ungkapan itu disambut tawa hangat dan segera direkam para peserta muda untuk dibagikan di media sosial. Humor tersebut menunjukkan bahwa halal tidak harus dipandang rumit. Ia bisa dipahami secara sederhana, dekat, dan relevan, terutama bagi generasi digital.

Harmoni Spirit dan Aksi

Momen penting lainnya terjadi ketika Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono, berkunjung ke booth LPH Hidayatullah. Dengan penuh semangat ia menyampaikan pesan motivasi.

“Indonesia tidak boleh sekadar menjadi penonton di industri halal global. Kita punya kekuatan besar—UMKM, kreativitas, dan pasar domestik yang luas. Mari jadikan halal bukan hanya label, tetapi Halal Style, gaya hidup ekonomi yang mengangkat martabat bangsa,” katanya.

Ajakan tersebut menjadi energi baru bagi pelaku UMKM. Halal tidak hanya menjadi tanda keabsahan produk, melainkan gaya hidup ekonomi yang mampu membawa produk lokal Indonesia ke panggung dunia.

MIHAS 2025 menghadirkan kesadaran penting bahwa strategi tanpa ruh akan kering, sementara semangat tanpa eksekusi akan rapuh. Indonesia membutuhkan harmoni.

Ada strategi untuk bersaing, ada dimensi ruhiyah sebagai amanah, dan ada profesionalisme untuk melaksanakan eksekusi. Jika ketiganya berpadu, langkah menuju kepemimpinan global akan lebih mantap.

“Kami hadir di MIHAS bukan hanya membawa nama lembaga, tapi membawa semangat Indonesia. Booth kecil ini adalah pintu besar menuju kolaborasi global. Harapan kami sederhana: setiap produk halal Indonesia yang tampil di dunia, menjadi cermin kualitas, integritas, dan keberkahan bangsa kita,” kata Muhammad Faisal menegaskan hal tersebut.

Menjelang penutupan, booth-booth mulai dibongkar, kartu nama mitra disimpan, dan bendera dilipat. Namun jejak yang tertinggal jauh melampaui dekorasi pameran. MIHAS 2025 menjadi saksi bahwa Indonesia tidak sekadar hadir, tetapi siap mengambil peran utama.

Dari ruang pameran MITEC, dunia mendengar pesan tegas, bahwa halal adalah amanah, halal adalah gaya hidup, dan halal adalah masa depan.

Dan, dari booth kecil bernomor 7H13, Indonesia mengirim sinyal lantang bahwa ia bukan hanya bagian dari pasar halal dunia, melainkan sebagai pusatnya.[]

*) Abdul Chadjib Halik, penulis praktisi Ekonomi Syariah, Keuangan ZIS, dan Industri Halal; Mahasiswa Program Pascasarjana Doktoral S3 Ekonomi Islam UIN Alauddin Makassar

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version